Hidayatullah.com–Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menegaskan, putusan atas uji materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya soal status anak, justru menghindari perzinaan.
Karena, tegas Mahfud, justru dengan kondisi sekarang banyak laki-laki sembarang menggauli orang, gampang punya isteri simpanan, kawin kontrak, tetapi laki-laki bisa dengan mudah meninggalkan dan masalah anak itu dibebankan ke ibunya.
“Itu tidak adil. Justru akan takut dengan keputusan ini. Dengan adanya ini tidak hanya dibebankan ke ibunya tapi juga bapaknya,” tandasnya, usai pertemuan segenap pimpinan lembaga negara di DPR, Jakarta, Senin (20/2/2012).
“Justru menghindari dari zina. Dulu bisa berzina, sekarang nggak,” imbuhnya.
Jumat (17/2/2012) MK mengeluarkan putusan atas gugatan penyanyi Machica Mochtar. Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan uji materiil atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mahkamah menyatakan, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah menyatakan, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata anak dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain yang sah menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Mahkamah menetapkan seharusnya ayat tersebut berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan, mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya,” ujar Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan, dimuat laman Akilmochtar.
Mahfud menyatakan putusan ini berlaku sejak MK mengetok palu. Artinya, sejak Jumat pagi, 17 Februari 2012, semua anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Yang dimaksud “di luar pernikahan resmi” itu termasuk kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.
Menurut Ketua MK, keputusan ini tidak bicara akta dan waris, melainkan hanya anak di luar nikah yang mempunyai hubungan darah dengan ayahnya. Akta dan waris dengan sendirinya mengikuti.
Pakar Hukum Islam Universitas Gadjah Mada, Abdul Gofur, berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuat status anak di luar nikah mendekati model Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Putusan MK berimplikasi seorang anak luar nikah tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
Soal ini, kata Gofur, menguatkan yurisprudensi yang ada. Tahun 2006, kata Gofur, Pengadilan Agama Sleman pernah memutuskan berdasarkan asas maslahih mursalah, seorang anak di luar nikah tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. “Itu demi maslahih mursalah atau kemaslahatan umum,” kata Gofur, dalam laman Tribunnews.
Anak, kata Gofur, seperti diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, adalah yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan akibat perkawinan yang sah. Sementara dengan putusan MK ini, anak juga bisa terjadi bukan lewat atau di luar perkawinan.
“Sehingga sekarang justru status anak di luar nikah mendekati pengaturan oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata,” ujar Gofur. KUH Perdata memungkinkan anak di luar perkawinan diakui bapaknya berdasarkan Pasal 5a.*