Hidayatullah.com–Prosesi budaya Kirab 1 Suro dengan maskot kerbau ‘’Kyai Slamet’’ sebagai cucuk lampah (vorijder) selama ini diopinikan sebagai tradisi Kraton Mataram yang sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Padahal, tradisi tersebut baru muncul pada 1974.
Demikian diungkapkan peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Susiyanto, dalam diskusi yang diselenggarakan Pusat Studi Pemikiran Islam (PSPI) di Gedung Umat Islam Solo, belum lama ini.
Acara yang turut disponsori LAZIS Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia ini dihadiri sekitar 50 aktivis dari Jakarta, Solo, Banjarnegara, dan Jogja.
Dalam diskusi itu, Susiyanto berusaha mengkritisi orisinilitas tradisi Kejawen. Menurut hasil penggeledahan sejarah yang dilakukannya, tradisi Kebatinan atau Kejawen dipengaruhi oleh ajaran Theosofie.
“Tokoh Theosofie datang memperkenalkan diri kepada para bangsawan kraton dengan wajah ‘tasawuf Islam’. Namun secara perlahan mereka melakukan deviasi pemahaman sampai akhirnya menampakkan jejak Kabbalah dan kebijakan ‘Hindhustan’. Kedunya sama sekali berbeda dengan Islam, bahkan menyimpan dendam terselubung terhadap Islam,’’ ujarnya Susiyanto.
Tehosofie menyusup ke dalam kalangan Kebatinan dan Kejawen, kemudian melakukan distorsi makna atas kedua ajaran tradisional Jawa. Sehingga, Kebatinan dan Kejawen diposisikan memusuhi Islam.
“Islam selalu dicitrakan sebagai “Arab” dan “agama asing” bagi penduduk Nusantara,’’ tandas Susiyanto.
Dengan penyimpangan sejarah yang akut, umat Islam di Indonesia sering tidak lagi mampu membedakan mana cerita rekaan, mitos, legenda dan mana yang merupakan fakta sejarah. Misalnya prosesi adat Kirab 1 Suro.
Susiyanto mengemukakan, tradisi ini sejatinya ‘’kreasi’’ Jendral Soejono Hoemardhani, ‘’guru spiritual” Presiden Soeharto. Menghadapi gejolak politik yang kemudian meletuskan Peristiwa Malari 1974, asisten pribadi (aspri) Soeharto itu sowan ke Kraton Kasunanan Surakarta. Kepada Pakubuwono XII, ia meminta ‘’laku ritual’’ untuk meredam gejolak politik di Ibukota agar tak meluas ke Indonesia.
Maka, dipentaskanlah Kirab Pusaka pada 1 Suro (Muharram), dengan pusaka utama seekor kerbau bule yang dinamai “Kyai Slamet”.
Awalnya, fungsi kerbau hanyalah sebagai pelengkap parade, sebagaimana kendaraan hias dalam Karnaval 17 Agustusan. Namun, lama-lama kerbau bule kraton Surakarta yang memang merupakan hewan “klangenan” para raja Surakarta sejak Pakubuwono XII, menjadi lebih terkenal dibandingkan pusaka (gaman=senjata) yang dikirab. Bahkan kemudian label “Slamet’’ yang sebenarnya ‘’milik’’ pusaka kraton, menjadi ‘’hak paten’’ si kerbau bule, ujar Susiyanto.
Sementara itu Ketua PSPI, Arief Wibowo memaparkan penulisan kesejarahan. Mengutip peneliti Dr. Syamsuddin Arif, menurut Arief Wibowo setidaknya ada tiga tipe penulisan sejarah.
Pertama, History Rememberted atau biasa disebut popular history, yang terangkum dalam aneka mitos, legenda dimana antara dongeng dan kenyataan sudah bercampur aduk menjadi satu.
Kedua, History Recovered, yang merupakan academic history, yang mengandung sebuah upaya rekonstruksi atas jalannya sejarah, dan yang ketiga adalah History invented, official history yang bertipe “from fiction to fact”, biasanya dibuat untuk proses pelanggengan sebuah kekuasaan.
Sebagaimana diketahui, meski belum setahun PSPI didirikan, lembaga kajian ini sangat diminati kalangan muda Muslim di Solo dan sekitarnya.
Minggu ini rencananya PSPI akan mengadakan acara “Bedah Film Soegija” untuk menguak distorsi sejarah.
“Kami ingin mendudukkan sejarah sosok dan peran Soegijapranata secara proporsional saja,’’ kata Arief, alumnus Fakultas Pertanian UNS (S-1) dan Studi Pemikiran Islam UNS (S-2).
Akan bertindak sebagai narasumber, Tiar Anwar Bachtiar peneliti sejarah yang juga Ketua Pemuda PERSIS. Tiar saat ini sedang menempuh studi S3 Bidang Sejarah di Universitas Indonesia.
“Bedah Film Soegija” terbuka untuk umum, berlangsung pada Sabtu, 24 November 2012, pukul 19.30 WIB di Masjid Istiqlal, Sumber, Solo.*/Nurbowo, Solo