Hidayatullah.com– Dosen Universitas HAMKA (UHAMKA), Jakarta, Alfian Tanjung mendorong para pemuda peduli atas nasib umat Islam. Kepedulian pada umat sama dengan kepedulian bangsa.
Di hadapan kaum muda Quranic Generation (Q-Gen), Tebet, Jakarta, ia mencontohkan kebijakan ongkos perjalanan haji di negeri Jiran Malaysia. Yang menurutnya, biayanya lebih murah. Berbeda jauh dengan Indonesia.
“Padahal Malaysia umat Muslimnya hanya 60 persen. Tapi yang 60 persen itu pengendali politik dan bisnis di sana. Dan itu karena DPR Malaysia yang memperjuangkan umat Islam di sana,”ucapnya menegaskan. Menariknya, Indonesia dengan jumlah Muslim lebih dari 80 persen, dinilai tidak punya “gigi” di hadapan penguasa.
Larangan siswa berjilbab di sekolah di Bali dan belum turunnya izin Polisi Wanita (Polwan) berjilbab, juga di antara segelintir contoh betapa lemahnya persatuan umat.
Bukti kelemahan ini terbawa pada pesta rakyat, Pemilu 2014 lalu. Menurut Alfian, cukup banyak Ormas Islam yang menganjurkan kadernya tidak mencoblos.
“Kita ini berada dalam keadaan umat Islamnya terhina, suka atau tidak suka. Sesungguhnya orang lain itu bekerjasama untuk menghancurkan Islam. Nah kita sendiri kemana?” Alfian mempertanyakan kepedulian umat Islam.
Pelarangan penggunaan jilbab tahun 80-90-an menjadi contohnya. Alfian menceritakan betapa perjuangan berjilbab di Indonesia itu berjalan dengan darah dan air mata. Perlawanan pertama terhadap jilbab dimulai oleh mahasiswi ITB tahun 1971.
“Dia dibully, dicemooh, dibilang kudisan, dijauhi oleh teman-temannya,”ucap Alfian menceritakan kisah para pengguna jilbab di era 70-80-an.
Salah satu teman sekelas Alfian saat SMA, namanya Susi, ia turut mendapat imbas dari kebijakan pelarangan jilbab sebelum tahun 1991. Oleh gurunya, ia bahkan diminta melepas jilbabnya di depan teman-temannya sekelas.
Pada waktu itu para kepala sekolah diiming-imingi naik jenjang dua tingkat lebih tinggi jika berhasil melarang murid sekolah berjilbab.
Proses pengajuan izin berjilbab mulai diajukan pada tahun 1977. Beberapa Ormas Islam, termasuk Pelajar Islam Indonesia (PII), mendesak pemerintah agar mengeluarkan izin berjilbab. Setelah 14 tahun, tepatnya tahun 1991 izin berjilbab diberi payung hukum dengan pengesahan UU yang membolehkan Muslimah berjilbab.
Melihat sejarah bangsa seperti ini ia mengajak para pemuda segara bangkit. Umat seharusnya tidak perlu antipati terhadap Islam.
“Memang kita tidak mengurusnya langsung sebagai problem solver, tapi minimal ada jiwa Islam,”ucapnya tandas.*