Hidayatullah.com-Pemerhati sejarah Jawa dan Islam Susiyanto merasa prihatin penghilangan gelar Khalifatullah dalam gelar kesultanan, di Siti Hinggil Kraton Ngayogyakarta.
Susiyanto menilai, penghilangan ini nampaknya mulai ada pengaruh paham liberalisme dan pluralisme agama dalam pemikiran Sultan Hamengkubuwono X.
Pernyataan itu Susiyanto sampaikan menanggapi salah satu isi Sabda Raja yang telah diucapkan oleh Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X terkait penghilangan gelar Khalifatullah dalam gelar kesultanan, di Siti Hinggil Kraton, Kamis (30/04/2015).
“Saya sebenarnya prihatin, akhir-akhir ini memang ada beberapa hal yang bersifat negatif berkaitan dengan Islam dari keraton Yogyakarta, terutama pemikiran sultannnya yang agaknya mulai terpengaruh oleh pluralisme agama, dibadingkan untuk mengikuti leluhur- leluhurnya yang memiliki kedekatan dengan Islam,” kata Susiyanto kepada hidayatullah.com saat dihubungi, Kamis (07/05/2015) pagi.
Dari pihak kerajaan sendiri, kata Susiyanto, sebagaimana perkembangan yang ia ikuti, sebenarnya Sultan pada saat itu ingin mengangkat putri atau anak perempuannya sebagai putra mahkota. Karena gelar khalifah tidak mungkin diwarisi oleh anak perempuan, maka, lanjutnya, dilepaslah gelar (khalifatullah) tersebut.
“Sejak Hamengkubuwono III di lingkungan kraton itu kedekatan sultan dengan Islam masih cukup kental. Cuma Hamengkubuwono setelah-setelah itu kedekatannnya dengan Islam agak berkurang,” kata Susiyanto Sekretaris Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Solo Raya ini.
Kraton sendiri sebetulnya sudah berupaya meluruskan bahwa kraton itu merupakan kesultanan Islam. Misalnya, saat zaman perang Diponegoro, tepatnya pasca perang itu kepercayaan rakyat terhadap kraton menurun saat itu. Kemudian, lanjutnya, kraton mengeluarkan karya sastra bernama suryo rojo, yaitu cerita fiktif yang di dalamnya memuat cerita Islam.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Karya fiktif ini dibuat dalam rangka untuk mendekati kalangan santri dan ulama pada saat itu. Jadi, sebenarnya dari pihak kraton sendiri ada upaya untuk lebih mendekati Islam dengan menggunkan medium-medium budaya seperti itu,” pungkas penulis buku “Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa” (2010) ini.*