Hidayatullah.com- Belum lama ini, media sosial dihebohkan dengan dua fenomena perkawinan sejenis baik yang berlangsung di kawasan wisata Sayan, Ubud, Bali maupun di daerah Boyolali, Jawa Tengah.
“Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum, dan semua diatur dalam Undang-Undang (UU). Karena itu, jelas pernikahan sejenis tidak sesuai dan menyalahi aturan yang berlaku di negeri ini,” demikian dikatakan Direktur Eksekutif SNH Advocacy Center, Sylviani Abdul Hamid di sela-sela diskusi terbatas di bilangan Cipayung, Senin (19/10/2015).
Menurut Silvy dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 jelas dinyatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Jadi jelas UU itu mengatur perkawinan yang dilakukan dua orang dengan jenis kelamin berbeda bukan sejenis, lanjut pengacara yang juga pengiat Hak Asasi Manusia (HAM) ini,” kata Silvy seperti dalam rilis yang diterima hidayatullah.com, Senin (19/10/2015).
Selama ini, menurut Silvy, pengiat lesbian, homoseksual, bisexual, and transgender (LGBT) selalu berlindung dengan dalih kebebasan dan HAM. Padahal, mereka lupa bahwa kebebasan juga dibatasi aturan dan hak-hak orang lain.
“Perkawinan sejenis melanggar nilai-nilai luhur Pancasila dan budaya masyarakat Indonesia, sehingga kalau didiamkan (perkawinan sejenis,red) dapat melunturkan sikap Pancasilais dan budaya luhur bangsa Indonesia yang beradab,” jelasnya.
Silvy menegaskan jika kini penggiat LGBT sudah semakin berani, padahal mereka jelas-jelas melakukan pelanggaran atas norma hukum dan norma lain yang hidup berkembang di Indonesia. Mereka tidak mungkin berani, jika tidak ada kelompok atau organisasi yang ‘membekingi’.
“Organisasi-organisasi yang menyuarakan kebebasan itu sudah kelewatan batas bahkan menerobos aturan-aturan yang semestinya mereka pegang teguh,” tandas Silvy.*