Hidayatullah.com- Direktur The Community of Ideological of Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, menyebut terorisme bukan disebabkan faktor tunggal atau hanya semata-mata karena tafsiran terhadap teks-teks normatif secara beku, tetapi juga banyak variabel lainnya. Di samping persoalan ekonomi, pendidikan, juga efek dari kekerasan yang diterima seseorang.
“Misalkan seseorang karena dendam kepada pihak aparat keamanan maka ia bisa melakukan aksi teror kepada aparat jika ia punya kesempatan, baik dari sisi dana, peralatan dan keyakinan yang melegitimasi,” ujar Harits dalam rilisnya yang diterima hidayatullah.com, Rabu (20/01/2016).
Menurut Pengamat Kontra Terorisme ini, hal itulah yang tampak 5 tahun terakhir bahwa fenomena terorisme motifnya dendam lebih dominan dibandingkan karena persoalan motif politik.
“Aksi teroris tidak selalu motif politik yang mendasari,” cetusnya.
Karena itu, dikatakan Harits, wacana merevisi Undang-Undang (UU) Terorisme bukanlah kebutuhan urgen. Tapi, yang lebih urgen menurutnya adalah meningkatkan kapasitas kemampuan, serta profesionalitas aparat penegak hukum dalam konteks pencegahan maupun penindakan.
“Dan juga didorong adanya transparasi serta akuntabilitas dalam upaya kontra terorisme,” imbuhnya.
Di luar itu, menurutnya, juga penting bagaimana menempatkan tersangka, terhukum dan residivis tahanan terorisme sebagai layaknya manusia dan Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak dasar sebagai manusia, yang tidak boleh dilanggar begitu saja sekalipun atas nama hukum.*