Hidayatullah.com– Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Mursyidah Thahir menyatakan, dalam al-Qur’an disebutkan, zina merupakan perbuatan keji. Keburukan zina tidak saja menimpa diri sendiri, tapi juga orang lain.
Hal itu ia sampaikan ketika menjadi ahli pihak terkait MUI dalam lanjutan persidangan uji materiil pasal 284, 285, dan 292 KUHP di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (04/10/2016). Ketiga pasal itu tentang perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan sesama jenis.
“Zina jelas merusak pranata dan tatanan sosial. Dari segi kemanusiaan juga banyak sekali keburukannya,” ujar Mursyidah.
Ia mencontohkan di antara dampak perzinaan. Seandainya perempuan yang berzina melahirkan, maka anaknya tidak akan punya bapak, tidak punya wali kalau itu anak perempuan, dan kerugian lainnya.
“Itulah makanya perzinaan sebetulnya melanggar hak-hak dasar manusia (HAM. Red),” ungkapnya. [Baca juga: “Atas Nama Cinta dan HAM, Bolehkah Anak Menzinai Ibunya?”]
Karenanya, Mursyidah menampik jika zina dikatakan sebagai hak privasi setiap individu yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun.
Ia bercerita, dulu saat zaman jahiliyah beredar anggapan, kalau zina dilakukan di tempat umum atau prostitusi, itu baru dikatakan buruk. Tapi kalau dilakukan di rumah-rumah pribadi tidak apa-apa, menurut anggapan itu.
“Itu yang kemudian dikritik oleh al-Qur’an, bahwa janganlah kamu melakukan perbuatan keji. Jadi itu bukan urusan privat, tapi urusan kemanusiaan, kejahatan harga diri, dan sosial,” jelasnya. [Baca juga: Akhir Zaman: Manusia akan Berzina di Jalan-Jalan]
“Dalam al-Qur’an dikatakan kalau zina merupakan kejahatan pribadi dan disebutnya keji. Kalau kejahatan sosial disebutnya sistem akan rusak,” tambah Mursyidah.
Untuk itu, ia setuju jika definisi zina dalam undang-undang harus diperluas. Tidak hanya bagi yang sudah punya suami atau istri, tapi kepada siapa saja.
“Ini sebetulnya termasuk membela perempuan, karena selama ini undang-undang membebaskan laki-laki tapi perempuan mengalami penderitaan,” pungkasnya.*