Hidayatullah.com– Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, mengungkapkan, penandatanganan Head of Agreement (HoA) dengan Freeport McMoran perlu disambut baik. Namun, kata dia, tidak perlu dianggap sebagai suatu kemenangan bagi Indonesia. Terlebih lagi untuk memunculkan euforia di masyarakat.
Ia memaparkan beberapa alasannya dari sudut pandang hukum. Pertama, kata dia, HoA bukanlah perjanjian jual beli saham melainkan perjanjian payung, sehingga mengatur hal-hal prinsip saja. HoA akan ditindaklanjuti dengan sejumlah perjanjian.
“Perjanjian yang harus dilakukan untuk benar-benar pemerintah memiliki 51% adalah Perjanjian Jual Beli Participating Rights antara Rio Rinto dengan Pemerintah yang nantinya dikonversi menjadi saham sebesar 40% di PT FI. Lalu perjanjian jual beli saham antara Pemerintah dengan Freeport McMoran sejumlah 5,4%,” jelasnya dalam siaran pers kepada hidayatullah.com Jakarta, baru-baru ini.
Ia menegaskan, perjanjian-perjanjian di atas harus benar-benar dicermati.
“Karena bagi lawyer ada adagium yang mengatakan ‘the devil is on the detail’ (setannya ada di masalah detail). Kerap bagi negosiator Indonesia mereka akan cukup puas dengan hal-hal yang umum saja,” ungkapnya.
Baca: Politisi PAN: Soal Freeport, Pencitraan Oknum Pemerintah Sangat Kelewatan
Alasan yang kedua, lanjutnya, muncul sebuah pertanyaan, berapa harga yang disepakati untuk membeli Participating Rights di Rio Tinto dan saham yang dimiliki oleh Freeport McMoran. Pertanyaan ini muncul karena bila konsesi tidak diperpanjang hingga 2021, maka tentu harga akan lebih murah ketimbang bila konsesi mendapat perpanjangan hingga tahun 2041.
“Hingga saat ini belum jelas apakah pemerintah akan memperpanjang konsesi PT FI atau tidak. Untuk hal ini menjadi pertanyaan apakah pemerintah pasca 2019 (bila ada perubahan) akan merasa terikat dengan HoA yang ditandatangani atau tidak,” ujarnya.
Baca: INDEF: HoA Tak Berarti Freeport Telah Penuhi Kewajiban Divestasi
Alasan yang ketiga, hal yang perlu diperhatikan, menurutnya, adalah pengaturan pengambil keputusan di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Apakah ada ketentuan untuk sahnya kehadiran dan pengambilan keputusan harus dilakukan minimal 51%+1, bahkan lebih. “Bila demikian, meski pemerintah mayoritas, namun pengendalian perusahaan masih ada di tangan Freeport McMoran,” terangnya.
Terlebih lagi bila saham yang dimiliki oleh Freeport McMoran adalah saham istimewa yang tanpa kehadirannya, maka RUPS tidak akan kuorum. Juga bila penunjukan Direksi dan Komisaris harus tanpa keberatan dari Freeport McMoran.
Baca: Indonesia Negara Berdaulat, Freeport Harus Patuh UU Minerba
Alasan yang keempat, masih kata Hikmahanto mempertanyakan, bila pemerintah telah menjadi pemegang saham di PT FI dan ada keputusan RUPS untuk meningkatkan modal serta karena satu dan lain hal pemerintah tidak dapat melakukan penyetoran, apakah kepemilikan saham pemerintah akan terdelusi, sehingga besaran 51% akan turun?
“Tentu masih banyak hal-hal detail yang akan menjadi pembahasan antara pemerintah dengan berbagai pihak. Karenanya menyatakan pemerintah menang tentu merupakan suatu pernyataan yang prematur. Bila pemerintah transparan dan akuntabel, maka apa yang disepakati dalam HoA sebaiknya dibuka ke publik. Ini untuk mencegah publik merasa dikhianati oleh pemerintahnya sendiri. Toh HoA sudah ditandatangani bukan dalam tahap negosiasi,” pungkasnya.* Andi
Baca: IRESS Ingatkan Jokowi Tak Gegabah soal Kontrak Freeport