Hidayatullah.com– Aktivis dakwah atau para dai harusnya senantiasa menjaga hubungan baiknya kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Demikian pesan penting dari beberapa kader senior Hidayatullah sejak masa perintisan pesantren era 1970-an. Mereka yaitu para Ustadz; Amin Mahmud, Abdul Qadir Jailani, Abdul Qadir Abdullah, Manandring Abdul Gani, dan Zainuddin Musaddad.
Mereka berbagi pengalaman dakwah pada acara “Dialog Peradaban Berbasis Gerakan Nawafil” di Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu malam pekan kemarin (15/12/2018), sebagai tindak lanjut Deklarasi Ummul Quro pada helatan Silaturahim Nasional (Silatnas) Hidayatullah, bulan lalu.
Baca: Hadapi Tantangan Global dengan Kekuatan Spiritual-Keterampilan
“Sebenarnya ada banyak ustadz yang layak jadi nara sumber dalam acara dialog, tapi setidaknya mereka mewakili semua untuk digali spirit dan ilmunya,” ucap Abdul Ghofar Hadi, selaku pemandu acara yang berlangsung di Masjid Ar-Riyadh tersebut.
Mengawali dialog, Amin Mahmud berpesan selalu berdoa dan mendoakan orang lain agar diberi hidayah dan istiqamah dalam ibadah.
Menurutnya, itulah kekuatan sesungguhnya selain dari upaya manusia secara sungguh-sungguh.
“Kalau belum hafal al-Qur’an ya kemana-mana harus bawa mushaf al-Qur’an. Minimal itulah bukti usaha kita mencintai Allah,” ucap Amin Mahmud, yang didaulat menjadi tokoh penggiat baca al-Qur’an.
Menurut Amin, orang beriman itu mesti rindu dengan Allah. Dia berasal dari ciptaan Allah dan akan kembali kepada Penciptanya.
“Itu yang bikin rindu setiap saat baca al-Qur’an. Ada komunikasi yang terjaga dan itu menjadikan hati tenang,” ucap dai yang mengaku punya target tertentu baca al-Qur’an setiap hari.
Selanjutnya giliran Abdul Qadir Jailani, penggiat shalat wajib berjamaah sekaligus shalat malam. Ia menyebut Program GNH bukan sesuatu yang baru. Tapi amalan mulia Nabi dan sudah jadi tradisi lama pesantren, secara khusus.
“Sejarah panjang Hidayatullah tidak bisa lepas dari shalat wajib berjamaah dan shalat malam,” ungkap Abdul Qadir. “Hidayatullah hadir dimana-mana karena pertolongan Allah lewat shalat malam itu,” lanjutnya.
“Masa awal pesantren, para santri bahkan shalat malam di kebun singkong atau di gubuk reot,” kenang ustadz yang pernah menjelajah dakwah ke sejumlah wilayah.
Baca: Gol Silatnas Hidayatullah Peningkatan Kualitas Iman, Islam, Ihsan
“Jadi memang harus ada peningkatan, kalau dulu itu kebiasaan, saatnya menjadi kebutuhan dan sesuatu yang dicintai,” ujarnya sambil menyebut beberapa keutamaan shalat malam.
Hampir senada apa yang diutarakan Manandring dan Abdul Kadir Abdullah. Masing-masing berbagi pengalaman spritual tentang suka duka berdakwah di masyarakat dan pentingnya menjaga kondisi spritual melalui berbagai amalan nawafil (sunnah).
“Jadi tantangan dakwah dan merasa berjuang itulah yang membuat aktivis dakwah itu selalu menjaga hubungannya kepada Allah.
Terakhir, Zainuddin Musaddad berbagi pengalaman tentang budaya infak. Menurutnya ini berkaitan dengan keyakinan akan janji Allah.
“Infak itu rumus matematika Allah yang pasti. Janji kelipatan pahala itu pasti benar. Bahkan ada sampai tidak terbilang jumlahnya,” paparnya.
Untuk diketahui, Gerakan Nawafil Hidayatullah (GNH) adalah program nasional terbaru yang dituang dalam Deklarasi Ummul Quro.
Piagam tersebut menyeru kepada segenap umat Islam, khususnya kader Hidayatullah untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas keimanan mereka dengan merutinkan ibadah-ibadah nawafil.
Di antara yang tercantum adalah menegakkan shalat berjamaah di masjid dan shalat sunnah, membaca al-Qur’an satu juz setiap hari, merutinkan shalat lail setiap malam, infak setiap hari, menjaga wirid dan zikir, serta menunaikan hak sesama berupa dakwah fardiyah.*