Hidayatullah.com— Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 Prof. M. Din Syamsuddin, menilai gejala perejiman (rejimisasi) agama yang telah disinyalir oleh Muhammadiyah merupakan fenomena memprihatinkan. Kecenderungan jika negara terlibat, dapat dipandang sebagai melanggar konstitusi.
“UUD 1945 Pasal 29 menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat sesuai agama dan kepercayaannya. Maka pemaksaan suatu agama atau paham keagamaan tertentu kepada pihak lain adalah bentuk pelanggaran konstitusi,”demikian ditegaskan mantan Ketua Umum MUI dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini kepada hidayatullah.com, Selasa (8/11/2022).
Din Syamsuddin setuju masalah itu dibahas dan dijernihkan, karena jika hal ini terus menguat, sangat potensial mengganggu kerukunan antar umat beragama, dan intra umat beragama. Menurut Din Syamsuddin rejimisasi paham keagamaan nyata adanya, seperti tampak pada desakan sementara kalangan akan paham tertentu sebagai kebenaran tunggal, dan menyalahkan paham lain bahkan meminta negara untuk meniadakannya.
Sikap demikian menurut Din Syamsuddin adalah sikap egois, arogan, dan otoriter. “Sikap demikian tampak pada kecenderungan mengklaim kebenaran padahal belum tentu benar, bahkan acapkali melakukan persekusi terhadap pihak lain yang yg tidak disetujuinya,” katanya.
Jika terjadi di kalangan umat Islam maka dapat dikatakan kelompok itu tidak mengamalkan wawasan wasatiyat Islam yang antara lain mengedepankan tasamuh (toleransi). Menurutnya, hal itu bukan sikap moderat tapi bentuk ekstrimitas.
“Negara harus menolaknya, karena negara harus berada di atas dan untuk semua kelompok. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok yang memaksakan kehendak dan mengklaim kebenaran secara sepihak, serta mendesak negara untuk mendukungnya,” ujarnya.
Paham keagamaan terutama dalam masyarakat majemuk termasuk di kalangan umat Islam, menurut Guru Besar FISIP UIN Jakarta ini, sangat beragam lantaran ada perbedaan ayat atau hadis yang menjadi acuan dan perbedaan penafsiran terhadap keduanya.
Karena itu seyogyanya semua kelompok mengedepankan syura dan berdiskusi mencari kebenaran, karena pendapat tertentu walau diklaim dianut oleh mayoritas belum tentu benar atau lebih baik. “Tasamuh (toleransi) dan syura (bermusyawarah) adalah dua watak ummatan wasathan atau jalan tengah Islam (Wasatiyyat Islam),” ujarnya.
Kepada kelompok yang menjadi korban atau sasaran persekusi tidak perlu bereaksi karena hanya akan menggoyahkan sendi-sendi ukhuwah Islamiyah. “Terhadap mereka, kita cukup mengelus dada betapa sering terjadi ucap dan laku tidak sama,” ujarnya.*