Hidayatullah.com– Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Drs KH Sholahuddin Al Aiyub mengatakan, beragamnya fatwa halal pada satu kasus berpotensi mengaburkan kepastian hukum.
Hal itu disampaikan terkait regulasi dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja –sebelumnya RUU Cilaka– yang memberi wewenang fatwa halal kepada selain MUI.
Menyoroti RUU yang menuai polemik itu, Kiai Sholahuddin menerangkan, pada dasarnya Indonesia dibentuk bukan menjadi negara agama maupun negara sekuler. Adapun pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan substansi hukum agama.
“Karena itu, pendekatan yang dilakukan di Indonesia adalah membentuk sebuah lembaga yang bisa merepresentasikan umat Islam. Di situlah peran Komisi Fatwa MUI,” katanya di Jakarta kutip website resmi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI pada Selasa (25/02/2020).
Baca: RUU Ciptaker “Hapus” Wewenang Tunggal MUI pada Fatwa Halal
Melihat keberagaman masyarakat Indonesia, patut diakui, peran MUI katanya tak bisa dihilangkan begitu saja. MUI seharusnya tetap menjadi satu-satunya acuan negara dalam menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan keislaman. Hal ini demi menjaga harmonisasi masyarakat, khususnya ormas.
Disebutkan bahwa acuan hukum itu tak hanya berlaku dalam hal jaminan halal, tapi juga dalam ekonomi syariah. Kiai Sholahuddin menjelaskan, undang-undang perbankan syariah, surat berharga syariah, dan Perseroan Terbatas (PT) telah menyatakan dengan jelas bahwa hal-hal yang menyangkut tentang prinsip kesyariahan mengacu pada fatwa MUI.
Kiai Sholahuddin memberi contoh lainnya mengenai aliran agama yang menyimpang atau sesat.
“Pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan apakah ini sesat atau tidak. Karena itu, pemerintah meminta kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa atas aliran tersebut, yang kemudian dijadikan sebagai pijakan hukum negara,” jelasnya.
Kiai Sholahuddin mengatakan, di Indonesia tak menerapkan mufti fardi atau mufti individual. Yang berlaku di Indonesia adalah mufti jama’i atau mufti kolektif, yang keilmuannya saling melengkapi. MUI telah menjadi wadah yang mempertemukan para ulama dari berbagai ormas Islam.
Baca: Prof Baharun: RUU Ciptaker Berpotensi Benturkan 60-an Ormas Islam di MUI
Ada beberapa hal, lanjutnya, yang perlu digarisbawahi mengenai MUI sebagai mufti di Indonesia, terutama dalam hal penetapan produk halal. Pertama, penetapan fatwa tidak tunggal berpotensi adanya perbedaan dalam menetapkan fatwa suatu kasus yang sama.
“Kedua, beragamnya fatwa halal dalam produk yang sama akan membuat bingung masyarakat awam dan berpotensi mengaburkan kepastian hukum dalam satu kasus yang sama,” tambah Kiai Sholahuddin.
Poin ketiga, tambahnya, ketetapan fatwa halal di MUI mempunyai daya terima lebih tinggi, karena anggotanya berasal dari perwakilan lembaga fatwa ormas Islam di seluruh Indonesia.
Keempat, ketetapan fatwa halal bersifat qadha’i (mandat dari UU), sehingga bersifat mengikat dan tunggal.
Pada poin kedua di atas, Kiai Sholahuddin mengambil contoh hukum hewan yang disembelih oleh ahlul kitab. Ada ayat dalam Al-Qur’an yang membolehkan. Namun hal ini harus dikontekstualisasi, ahlul kitab yang disebut dalam ayat tersebut apakah sama dengan yang ada saat ini. MUI mengambil sikap, ahlul kitab yang dimaksud ayat tersebut tidak sama dengan yang ada saat ini. Oleh karena itu, sembelihan ahlul kitab, dagingnya tidak bisa dipakai. Kalau ini dibuka, ada ormas yang meyakini, ini boleh.
“Berarti ada perbedaan pendapat dalam satu kasus,” katanya.
Hal lain yang juga dapat dijadikan contoh adalah hukum kopi luwak. Ia mengatakan, ada yang meyakini bahwa hukum kopi luwak sama seperti feses, yakni najis. Akan tetapi, fatwa MUI mengatakan bahwa biji kopi luwak sifatnya seperti suatu benda yang tertelan dan keluar bersama dengan feses, hukumnya mutanajis. Artinya, barang suci yang terkena najis, kemudian dicuci sehingga menjadi suci dan bisa digunakan kembali.
Kiai Sholahuddin menekankan, adanya beragam fatwa terkait hukum satu produk dikhawatirkan akan membuat bingung masyarakat. Sehingga, fatwa tetap harus dijalankan secara desentralisasi, bersifat qadha’i atau mengikat. Hal ini jelasnya sesuai mandat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Baca: IHW: Bahaya Jika Peran Tunggal MUI pada Fatwa Halal Disingkirkan
Diketahui, RUU Ciptaker yang sebelumnya RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) telah “menghapus” wewenang tunggal MUI dalam fatwa halal.
Awalnya, fatwa halal merupakan wewenang penuh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun dalam RUU Ciptaker –yang menuai banyak protes–, penetapan fatwa halal diubah menjadi bisa juga dilakukan oleh ormas-ormas Islam berbadan hukum alias bukan lagi wewenang penuh MUI.
Pasal 33 Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) berbunyi:
“(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI;
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal;
(3) Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait;
(4) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH;
(5) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI;
(6) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.”
Baca: Bidang Fatwa MUI: RUU Cipta Kerja Mencederai Prinsip Keagamaan
“Ketentuan Pasal 33 (UU JPH, red) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dan dapat dilakukan oleh Ormas Islam yang berbadan hukum;
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal;
(3) Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH;
(4) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.”*