Hidayatullah.com– Kenaikan cukai rokok pada 2017 yang baru saja ditetapkan pemerintah sebesar 10,04 persen, dinilai tidak memberikan keuntungan besar bagi keuangan negara dan kesehatan masyarakat.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, dalam rilisnya kepada hidayatullah.com Jakarta, Jumat (27/10/2017).
Menurutnya, kenaikan sebesar 10,04 persen masih sangat konvervatif dan bertolak belakang dengan UU Cukai. Padahal seharusnya, kata Tulus, cukai bisa menjadi instrumen bagi pemerintah untuk menaikkan penerimaan negara di tengah penerimaan pajak yang seret.
Baca: YLKI Dorong Harga Rokok Mahal karena Dapat Melindungi Perokok
Rendahnya kenaikan cukai ini juga memunculkan kesan pemerintah lebih mendengarkan industri rokok dibanding Kementerian Kesehatan dan kelompok pro pengendalian konsumsi rokok.
“Kenaikan cukai rokok seharusnya progresif, sesuai dengan amanat UU tentang cukai. Kenaikan ini juga patut diduga Menkeu terlalu dominan mendengarkan suara industri rokok, tidak independen atas intervensi industri rokok, dan mengabaikan aspirasi masyrakat pro pengendalian konsumsi rokok,” papar Tulus.
Selain itu, lanjutnya, kenaikan cukai rokok sebesar 10,04 persen tidak berdampak
signigikan terhadap penurunan jumlah perokok dan mengabaikan aspirasi Kemenkes.
Padahal mayoritas penyakit/pasien yang ditanggung BPJS Kesehatan, sebagian besarnya disebabkan oleh rokok. Sehingga BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit setiap tahunnya, pada 2016 sebesar 9 triliun, dan diprediksi mencapai 12 triliun pada 2017.
“Menkeu gagal memahami cukai sebagai ‘pajak dosa’, sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok dan mengabaikan aspirasi dari masyarakat pro pengendalian konsumsi rokok,” lanjutnya.
Sehingga, imbauan Presiden agar petani mengurangi bertanam tembakau akibat dampak kenaikan cukai, dinilai YLKI sebagai hal yang tidak relevan.*