Hidayatullah.com — Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) akan disahkan dalam sidang rapat paripurna di DPR hari ini, Selasa (12/4/2022).
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan agenda rapat paripurna salah satunya adalah pengesahan tingkat II RUU TPKS.
“RUU TPKS akan disahkan menjadi inisiatif pada tanggal 12 besok [hari ini],” ujar Dasco kepada CNN Indonesia, Senin (11/4/2022).
Dasco menyebut rapat pengesahan hari ini akan dilakukan sebelum penutupan sidang tanggal 14. Setelahnya, anggota DPR akan menjalani masa reses.
“Penutupan masa sidang tanggal 14 [April],” sambungnya.
Sebelumnya, rapat pleno tingkat I yang dihadiri sembilan fraksi, mayoritas atau delapan fraksi menyetujui RUU TPKS dibawa ke Paripurna untuk pembicaraan tingkat dua sebelum disahkan menjadi UU. Dalam pembicaraan tingkat I itu hanya fraksi PKS yang menolak.
RUU TPKS memasukkan mengategorikan sembilan jenis kekerasan seksual. Dari jumlah itu beberapa di antaranya merupakan jenis kekerasan seksual yang marak beberapa waktu terakhir di internet atau media sosial, salah satunya kekerasan seksual berbasis internet yang diatur dalam pasal 14.
Sebelumnya, Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia kembali menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Hal itu sehubungan dengan rencana disahkannya RUU TPKS pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mendatang.
AILA dalam pernyataannya yang diterima oleh Hidayatullah.com, Senin (11/4/2022), mengungkap pandangannya tentang RUU TPKS yang berbahaya.
“Apabila RUU TPKS disahkan menjadi undang-undang, maka hal tersebut akan sangat berbahaya. Karena, masyarakat Indonesia diarahkan untuk menerima paradigma sexual consent yang secara implisit ada dalam RUU ini, yang justru bertentangan dengan UUD 1945,” ungkap AILA.
AILA mengkritik paradigma sexual consent yang digunakan dalam RUU TPKS. Lembaga tersebut menyebut sexual consent merupakan konsepsi yang bias dan ambigu, serta mengabaikan nilai-nilai agama dan sosial.
“Sexual consent menganggap hubungan seksual yang amoral sekalipun, sepanjang dilakukan dengan persetujuan, merupakan domain pribadi sehingga negara tidak boleh intervensi mengatur hubungan seksual semacam itu. Paradigma tersebut sangat kontradiktif dengan Pancasila sebagai landasan ideologi Bangsa dan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi negara,” ungkap AILA.*