Hidayatullah.com–Women’s Affair Center (WAC) yang berbasis di Gaza melakukan studi mengenai wanita dan warisan. Mereka mendapati, 88 persen responden mengaku tidak mendapatkan warisan yang menjadi haknya. Sekitar duapertiga wanita yang diwawancarai, tidak ingin menuntutnya secara hukum.
Laporan yang dikeluarkan untuk memperingati Hari Wanita Internasional awal bulan ini tersebut berusaha menyoroti masalah yang kerap dihadapi wanita Palestina.
Keluarga pihak suami lebih suka menyerahkan harta peninggalan suami wanita yang menjanda itu kepada saudara laki-laki atau putranya, sehingga wanita yang menjadi istri dan ibu anak-anaknya tidak mendapatkan apa-apa.
“Tanah sangat penting bagi masyarakat Palestina. Mereka tidak ingin tanah menjadi milik keluarga lain jika seorang pria meninggal dunia,” kata Diab Zayed, pelaksana program di Palestinian Working Woman Society for Development (PWWSD). “Wanita yang ditinggalkan, paling hanya mendapatkan sejumlah uang. Hanya itu.”
Di sisi lain, wanita Palestina juga kurang tingkat kesadarannya akan hak-hak mereka.
Menurut WAC ada beberapa alasan mengapa wanita di Gaza enggan menuntut hak warisan bagian mereka. Antara lain takut kehilangan anak, tidak tahu bagaimana cara mendapatkan bantuan hukum untuk menuntut haknya, dan tekanan pihak keluarga agar melepaskan hak warisannya.
PWWSD dan beberapa organisasi lain sedang mengusahakan agar pendaftaran kepemilikian properti atas nama wanita disahkan. Dengan demikian diharapkan wanita tidak lagi mendapat tekanan untuk melepaskan hak mereka.
Pembagian waris di Gaza untuk kalangan muslim diatur menurut hukum Islam, namun demikian wanita kadang hanya diberikan haknya dalam bentuk uang dan hanya sebagian saja. Bahkan kadang kurang dari separuh jumlah yang seharusnya mereka terima.
WAC menemukan, ada 202 kasus wanita tidak mendapatkan hak waris sebagaimana mestinya. Namun mereka hanya berhasil mewawancarai 100 wanita yang bersedia untuk berpartisipasi dalam studi tersebut.
Dr. Feras Milhem, pakar hukum dari Universitas Birzeit mengatakan, situasi sekarang lebih baik dibanding 20 tahun lalu, meskipun diakuinya masih ada masalah dan pembagian warisan dilakukan sesuai kehendak keluarga.
“Wanita tidak mendapatkan hak-hak mereka, khususnya yang berada di desa,” ujar Milhem.
“Bagi umat Kristem situasinya lebih rumit, karena tidak ada hukum waris dalam Kristen. Jadi mereka menggunakan hukum Islam, yang tidak membagi warisan sama rata,” papar Milhem.
“Para wanita berjuang agar hukum Islam direformasi, dan itu adalah perubahan hukum yang sangat sensitif,” katanya. “Wanita bisa menuntut ke pengadilan, tapi karena tekanan soial mereka tidak melakukannya.”
Namun masalah sebenarnya mungkin lebih tepat seperti yang dikemukakan oleh Diab Zayed.
“Bisa dikatakan, masalahnya lebih terkait pada budaya, bukan agama,” kata Zayed kepada Media Line pekan lalu. Masalah serupa juga dihadapi oleh wanita Palestina yang berada di wilayah Tepi Barat. [di/tml/hidayatullah.com]