Hidayatullah.com–Perdana Menteri Otoritas Palestina Rami Hamdallah tiba di Gaza Strip yang terkepung pada Senin, dalam upaya terbaru terkait rekonsiliasi antara Otoritas Palestina (PA) berbasis di Tepi Barat dan Hamas di Gaza.
Dalam konferensi pers di saat kedatangannya, Hamdallah menggambarkan kunjungan itu sebagai sebuah “momen bersejarah” terkait persatuan rakyat Palestina.
“Kami datang atas perintah Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk mengumumkan pada dunia, dari jantung Gaza bahwa negara Palestina tidak bisa tanpa persatuan politik dan geografis antara Tepi Barat dan Gaza.
“Kami tahu bahwa satu-satunya cara mencapai tujuan kita ialah melalui persatuan, dan untuk melindungi sistem politik Palestina,” kata Hamdallah, dikutip Aljazeera. Ia menambahkan pemerintah persatuan nasional akan mulai mengambil tanggungjawab administratifnya atas Gaza.
Perdana menteri itu juga mengumumkan bahwa beberapa komite telah dibentuk untuk mengatasi masalah-masalah seperti penyeberangan perbatasan dan pegawai PA di Gaza.
Kunjungan ke Gaza itu merupakan yang pertama bagi Hamdallah dalam dua tahun terakhir.
“Kami berharap untuk membalikkan halaman perpecahan selamanya, dan meraih rekonsiliasi nasional menyeluruh yang akan memperkuat kegigihan rakyat kita dan menjaga hak-hak mereka,” Iyak al-Buzom, juru bicara Kementrian Dalam Negeri di Gaza, mengatakan dalam sebuah pernyataan menjelang kunjungan tersebut.
Hamdallah juga akan mengunjungi pemukiman Shujayea, di aman tentara Israel melakukan pembantaian selama perang 2014 di Gaza.
Seorang delegasi keamanan Mesir yang dipimpin oleh duta besar Mesir untuk Israel, Hazem Khairat, akan mengawasi proses rekonsiliasi tersebut.
Setelah delegasi Hamas bertemu para diplomat Mesir di Kairo pada akhir bulan lalu, Hamas memutuskan akan membubarkan komite administratifnya dan menyatakan keinginannya untuk melakukan rekonsiliasi dengan rivalnya, partai politik Fatah, setelah perpecahan selama sedekade.
“Keputusan Hamas untuk merespon inisiatif Abbas dan untuk membubarkan komite administratifnya merupakan langkah penting yang kami akan bangun diatasnya banyak pekerjaan,” kata Hamdallah pada konferensi pers.
Hamas telah menjadi pemimpin de-facto di Strip Gaza sejak 2007 setelah mengalahkan partai Fatah Presiden Mahmoud Abbas dalam pemungutan suara parlemen.
Hamas kemudian mendorong keluar Gaza dalam konflik berdarah, ketika Fatah menolak mengakui hasil dari pemungutan suara. Hamas menguasai Strip Gaza dan Fatah menguasai Tepi Barat sejak itu, dan beberapa upaya rekonsiliasi telah gagal karena berbagai alasan.
Upaya rekonsiliasi terakhir pada 2014 gagal ketika Israel melancarkan perang 51 hari melawan Gaza.
Kontrol Hamas atas keamanan dan semacamnya sebagai sebuah gerakan perlawanan bersenjata juga telah menjadi halangan bagi PA, yang bekerja sama dengan Israel dalam masalah yang berhubungan dengan kemanan, sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Oslo, ditandatangani pada 1993 dan 1995 antara Organisasi Pembebasan Palestina dan Israel.
Sementara kontrol administratif akan diserahkan, pemerintahan Hamas akan mempertahankan otoritas keamanan, sebuah faktor yang para analis politik katakan akan mengakibatkan kegagalan pemerintah gabungan.
Abdulsatter Qassam, seorang profesor ilmu politik di Universitas an-Najah di Nablus di Tepi Barat yang terjajah, mengatakan hal itu “sangat tidak mungkin akan ada rekonsiliasi yang berlangsung lama”.
“Ini semua hanyalah latihan. PA tidak mempercayai legitimasi di tangan Hamas. Ini berarti bahwa PA ingin mengakhir perlawanan di Gaza dan Hamas menolak itu. Dan jika Fatah menerima perlawanan itu, Israel akan mengambil langkah melawan PA,” Qassem mengatakan pada Aljazeera.
“Ini akan pasti akan mengarah pada kehancuran pemerintah gabungan potensial yang baru. Karena alasan ini, minggu ini, dan untuk beberapa bulan ke depan, Hamas dan Fatah akan berupaya tidak berbicara mengenai Oslo dan isu perlawanan. Setidaknya, tampil sukses di hadapan rakyat Palestina. Tetapi pada akhirnya, Israel tidak akan menerima ini.”
Baca: Studi: Hamas Bisa Kalahkan Fatah dalam Pemilu Palestina
Selama beberapa bulan terakhir, Hamas telah berada di bawah tekanan besar dari langkah Abbas terhadap Gaza, yang bertujuan untuk menekan Hamas agar melepaskan kontrol teritori itu.
Langkah menghukum itu termasuk memotong gaji pegawai PA yang tinggal di Gaza dan meminta Israel untuk mengurangi suplai listrik ke Strip Gaza.
Analis politik di Gaza, Waleed al-Modallal mengatakan bahwa dalam jangka pendek, rakyat mengharapkan keadaan dapat meningkat.
“Terdapat udara positif dan optimisme di jalanan, tetapi rakyat juga dengan hati-hati memperhatikan. Mereka mengharap bahwa langkah ini akan meringankan kesulitan situasi ekonomi di Gaza, penyeberangan perbatasan akan lebih sering dibuka, masalah pegawai PA akan diselesaikan, dan bahwa listrik [akan] dikembalikan,” Modallal mengatakan.
Masalah perlawanan bersenjata Hamas, dia menambahkan, tidak akan didiskusikan setidaknya selama setahun.
“Semua warga Palestina tidak akan menyerah terhadap perlawanan di bawah kondisi apapun, karena kami adalah orang-orang yang berada di bawah penjajahan. PA tidak akan dapat melindungi kami, dan jelas bahwa di Tepi Barat – Israel memasuki pusat-pusat kota dan mereka tidak dapat mempertahankan diri mereka sendiri.*