Warga Palestina berhak hidup bermartabat tanpa tertindas, dan tanpa terus-menerus kehilangan orang yang mereka cintai, inilah suara hati seorang dokter Palestina
Hidayatullah.com | Seorang dokter dan peneliti syaraf di Palestina, Ru’a Rimawi, menulis sebuah kesaksian tentang adik-adiknya yang dibantai tentara ‘Israel’. Ahli kesehatan mental dan pediatri ini menuntut keadilan atas peristiwa itu, sebagaimana ditulis laman Aljazeera (18/02/2023).
Berikut ini tulisannya:
Pada dini hari tanggal 29 November 2022, tentara ‘Israel’ bersenjata berat kembali menyerbu desa Kafr Ein di Tepi Barat terjajah. Lokasi itu hanya beberapa kilometer dari tempat kami di desa Beit Rima.
Para serdadu itu menembakkan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam ke arah penduduk. Adik laki-laki saya, Thafer dan Jawad, bergabung bersama para pemuda lainnya untuk melakukan perlawanan.
Mereka melempari para serdadu dengan batu. Mereka rela mengorbankan nyawa demi mengusir penjajah.
Singkat cerita, serdadu ‘Israel’ menembaki Thafer. Melihat hal itu, Jawad berlari untuk menolongnya. Para serdadu kemudian menghujaninya dengan peluru.
Sekitar jam 5 pagi, ibu membangunkan saya sambil berteriak bahwa serdadu ‘Israel’ telah menembaki Jawad dan Thafer. Dikatakan bahwa mereka dilarikan ke rumah sakit di dekat kota Salfit.
Jawad harus menjalani operasi, karena arteri dan ususnya hancur. Sedangkan Thafer harus dirujuk ke rumah sakit lain di Ramallah, karena harus dioperasi dan ditangani oleh ahli bedah toraks.
Ibu menunggui Jawad, sementara saya pergi bersama ambulans yang membawa Thafer. Adik laki-laki saya itu berdarah-darah, kondisinya parah, persis di depan mata saya.
Semua orang yang berada di dalam kendaraan terpaku dan tak banyak bicara. Semua berikhtiar untuk menyelamatkan hidup adik saya.
Meski kondisi Thafer kritis, jika kami bertemu dengan pos pemeriksaan tentara ‘Israel’, maka harus berhenti. Tentara akan menginterogasi kami semua. Proses menunggu interogasi itu seperti mempertaruhkan kematian adik saya, sampai akhirnya kami diizinkan untuk lewat.
Kami akhirnya tiba di rumah sakit. Sekitar 20 menit kemudian, ibu menelepon dan memberitahu bahwa Jawad meninggal dunia.
Pada waktu yang sama, denyut nadi Thafer sudah tidak ada lagi. Dokter berikhtiar melakukan CPR –pertolongan darurat untuk pasien henti jantung. Upaya telah dilakukan maksimal, namun akhirnya Thafer juga meninggal.
Saya ingat betul, ketika berbicara lewat telepon, ibu berkata, “Jawad sudah pergi. Jawad akhirnya meninggal. Dia tidak lagi hidup.
Tolong beritahu aku bahwa Thafer baik-baik saja. Aku tidak bisa menerima jika kehilangan mereka berdua!”
Saya tertegun, sebab Thafer juga tidak akan pernah bangun lagi. Kedua adik saya itu selalu bersama, dan kini mereka juga meninggal dunia bersama. Kami telah kehilangan mereka.
Kebrutalan Sepanjang Masa
Kisah di atas adalah salah satu bagian dari episode penjajahan di Tepi Barat. Para korbannya adalah orang-orang Palestina yang tidak dikenal.
Bentrokan itu sekaligus menggambarkan konfrontasi asimetris, di mana para pemuda dan anak-anak, dengan batu dan ketapel, berhadapan dengan salah satu tentara yang disebut-sebut terkuat di dunia. Banyak, seperti adik-adik saya itu, yang akhirnya kehilangan nyawa.
Beberapa orang luar bertanya, “Mengapa orang Palestina melempari batu padahal mereka tahu itu akan membuatnya terbunuh?” Padahal seharusnya pertanyaannya adalah: “Apa lagi yang akan Anda lakukan jika Anda dilahirkan di bawah penjajahan brutal dan menderita kekerasan sepanjang hidup?”
Kebrutalan militer ‘Israel’ membuat ingatan saya terbang ke masa silam. Saya ingat pembantaian yang terus dilakukan oleh penjajah.
Saya ingat ketika keluarga kami ketakutan jika rumah dibom. Saya ingat suara-suara tembakan dan ledakan di malam hari.
Saya ingat ketika berjalan melewati penembak jitu ‘Israel’ yang ditempatkan di atap rumah, atau saya berjalan di bawah senjata laras panjang penjajah.
Ketika saya berumur tiga tahun, tentara ‘Israel’ menyerbu desa kami dengan tank dan helikopter. Waktu itu lima orang tewas dan beberapa rumah dihancurkan.
Ketika saya berusia lima tahun, tentara penjajah masuk ke rumah kami, menangkap dan menutup mata ayah saya di depan kami. Jawad yang saat itu berusia empat tahun, bersembunyi di belakang saya dan menangis.
Saat-saat mencekam seperti itu tidak pernah hilang dari ingatan saya dan adik-adik. Semua orang Palestina yang hidup di bawah penjajahan terpanjang dalam sejarah modern telah mengalaminya.
Ketika Anda menyaksikan ketidakadilan, kehilangan orang yang dicintai, dan dijajah, pilihan apa yang Anda miliki selain mencoba membela diri?
Harus Diakhiri
Saya tidak hanya kehilangan adik-adik tercinta. Saya juga kehilangan teman-teman terdekat, orang-orang baik dan luar biasa dalam berbagai hal.
Sekarang saya dan keluarga akan bangun setiap hari selama sisa hidup kami, tanpa mereka. Jawad telah lulus dengan gelar Sarjana Administrasi Bisnis pada tahun 2021.
Dia bercita-cita menjadi pengusaha. Sedangkan Thafer bermimpi untuk bisa berkeliling dunia.
Namun karena mereka adalah anak laki-laki yang lahir di bumi Palestina, nyawanya selalu dalam bahaya. Jawad syahid pada usia 22 tahun sebelum memulai usahanya. Sementara Thafer syahid pada usia 19 tahun, dan belum pernah meninggalkan Palestina.
Saya sendiri telah menjadi seorang dokter. Sebelum 29 November itu, saya ingin menjadi dokter anak. Namun cita-cita itu telah saya lupakan setelah penjajah membantai saudara-saudara saya.
Dalam kegelapan yang mengerikan ini, saya memilih untuk mencari cahaya. Saya memilih untuk menyuarakan kemanusiaan dan menentang penindasan.
Saya berharap agar orang-orang yang membaca tulisan ini akan menuntut keadilan bagi Jawad, Thafer, dan seluruh rakyat Palestina.
Pembunuhan harus dihentikan. Dunia kehilangan begitu banyak potensinya setiap kali seorang individu muda, cerdas, dan peduli dibunuh secara brutal.
Warga Palestina berhak hidup bermartabat tanpa tertindas, dan tanpa terus-menerus kehilangan orang yang mereka cintai. Mereka yang membantai saudara-saudara saya, harus dimintai pertanggungjawaban.
Pendudukan ‘Israel’ harus diakhiri! Penjahat perangnya harus diadili! Berapa banyak lagi tragedi yang perlu dilihat agar dunia bertindak?*