Hidayatullah.com | SETELAH bersusah payah dalam perjalanan tiga harinya dari Mesir ke Jalur Gaza, Amal Brika, seorang wartawan muda, berharap untuk segera tiba di rumah, mandi dengan air panas dan tidur lapor Al Jazeera. Namun dia dikejutkan oleh pemberitahuan bahwa dirinya harus menjalani karantina wajib sebagai bagian dari upaya untuk membatasi potensi penyebaran wabah pandemi virus corona di wilayah tepi pantai yang terkepung itu.
Brika, bersama dengan puluhan warga Palestina lain, dikirim ke sebuah penampungan di sekolah di dekat perbatasan Rafah di Gaza selatan.
“Saya memprotes karantina yang tidak sehat; kami berjumlah 200 orang di sekolah, delapan di tiap ruang kelasnya dan semua pria dan wanita hanya berbagi satu kamar mandi kotor. Saya tidak merasa nyaman dan privasi,” katanya kepada Al Jazeera melalui panggilan telepon.
Tidak ada infeksi virus yang terdeteksi di Gaza, yang merupakan rumah bagi dua juta orang dan menderita karena blokade penjajah Israel dan Mesir. Blokade itu, yang ditimpakan setelah kelompok pejuang Islam Hamas memenangkan Pemilu 2007.
Tidak ada wisatawan yang dapat mengunjungi tempat itu karena Israel dan Mesir sebagian besar telah menutup perbatasan mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara mencabut beberapa pelarangan perjalanan, memungkinkan lebih banyak warga Palestina di Gaza untuk keluar, biasanya dengan alasan kemanusiaan dan setelah proses perijinan yang panjang untuk mendapatkan surat izin-yang-sangat-sulit-didapat.
Tetapi ketika virus corona menyebar di negara tetangga Mesir dan Israel, pemerintah yang dipimpin Hamas menyadari bahwa mereka harus bertindak cepat, mengingat terbatasnya kapasitas sistem perawatan kesehatan Gaza. Blokade, perbedaan politik Palestina dan tiga serangan Israel selama 12 tahun terakhir telah membuat sistem perawatan kesehatan di Gaza kewalahan. Wilayah ini juga kekurangan sumber daya, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Sistem kesehatan tidak akan mampu menangani ratusan atau ribuan kasus, jadi hal terbaik di sini adalah tidak adanya penyakit (COVID-19),” Abdelnasser Soboh, direktur WHO di Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera.
Soboh mengatakan tidak ada pakaian pelindung yang cukup untuk pekerja medis atau peralatan perawatan intensif dan ventilator – semua penting untuk memerangi potensi wabah. Hanya ada 62 mesin ventilator di seluruh Gaza, lebih dari dua pertiganya sudah digunakan oleh pasien lain. Sedangkan untuk mendeteksi virus corona, hanya ada dua alat tes, cukup untuk memeriksa 190 orang, kata Soboh.
“Tidak ada dana untuk membeli peralatan, dan jika uang tersedia, ada kelangkaan global,” tambah Soboh.
‘Kami butuh dokter’
Sementara itu, Dr Nidal Ghunaim, kepala departemen pengendalian infeksi di kementerian kesehatan, mengatakan pihak berwenang sedang bekerja untuk mengatasi hambatan dan melengkapi pusat karantina. Dia mengatakan kementriannya meningkatkan upaya dengan menambahkan kapasitas pengujian. Blokade Israel menyebabkan “kekurangan kapasitas dan staf medis,” katanya.
Ghunaim mengatakan 49 kasus yang dicurigai virus corona ternyata negatif. Rumah sakit lapangan dengan 30 tempat tidur yang didirikan di dekat titik penyebrangan Rafah dengan Mesir akan digunakan jika kasus-kasus virus corona ditemukan.
Sejauh ini, delapan pusat karantina sementara telah dibuka di Gaza, sebagian besar di sekolah-sekolah. Kementerian kesehatan mengatakan 2.708 penduduk berada dalam isolasi di rumah setelah kembali lebih awal melalui Israel dan Mesir, dan sekitar 800 kedatangan minggu ini dipindahkan ke pusat karantina sekolah khusus.
Pada hari Selasa, Israel dan Mesir sepenuhnya menutup penyeberangan ke dalam Gaza. Ketika kementerian mengumumkan pembukaan pusat isolasi wajib pertama di sebuah sekolah, ada protes terhadap kondisi tersebut. Gambar menunjukkan kasur-kasur berjejer di atas lantai.
Banyak yang tidak puas dengan kurangnya privasi tempat isolasi. Meskipun setengah dari tenaga kerja Gaza menganggur dan tingkat kemiskinan sekitar 52 persen, para aktivis telah mengorganisir kampanye donasi. Beberapa penjual makanan yang mereka sendiri kesulitan di Gaza menyumbangkan paket makanan, tempat tidur sementara dan sanitiser kepada mereka yang dikarantina.
Brika, yang harus mempersingkat kunjungannya ke Mesir, mengatakan dia tidak diperiksa setelah tiba di pihak Palestina, dan dibawa pergi dengan bus di tengah malam ke sekolah.
“Begitu aku melihat kasur di tanah, aku menggigil kedinginan,” katanya. “Kami membutuhkan dokter untuk memantau kondisi kesehatan kami, merawat orang tua dan mendidik kami tentang langkah-langkah keamanan dan bagaimana saling berhubungan, terutama di sekolah yang ramai ini,” kata Brika.
Pada hari pertama, dia mengunggah foto-foto dari sekolah yang menunjukkan dirinya mengenakan masker dan duduk bersama wanita lain di bawah matahari. Brika kemudian memposting gambar dari ruang kelas yang menunjukkan tempat tidur dengan selimut tebal dan berwarna-warni.
“Ini hotel kami,” tulisnya, tetapi bersikeras, “tanpa kamar dan kamar mandi pribadi, melakukan karantina sendiri jauh lebih baik daripada tinggal di sini.”*