KASMIN, 45 tahun, sedang melaut di Selat Sunda pada Sabtu malam, 22 Desember 2018. Hari itu dimana tsunami menerjang desanya, Sumberjaya di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten, dan sejumlah kabupaten lain termasuk di Provinsi Lampung.
Kisahnya menyelamatkan diri dan kawan-kawannya dari tsunami begitu heroik. Kala itu, nelayan ini bersama dua tamunya dari Cibaliung, Desa Kampung Sawah. Mereka melaut berbekal kapal berukuran kecil dengan panjang delapan meter, lebar setengah meter.
Ketiga orang ini berangkat menuju laut pada siang hari sekitar pukul 14.00 WIB. Tujuan pertama mereka ialah rumpon (tempat pemancingan). Perjalanan ke sana ditempuh sekitar satu setengah jam.
“Cuaca siang itu bagus (langit) berawan,” kata Kasmin ditemui hidayatullah.com di kampungnya, Jumat (28/12/2018).
Mereka memancing di sana hingga pukul 17.00 WIB, sore. Selanjutnya, Kasmin dan kedua tamunya memilih spot di tempat lain. Mereka tidak hanya memancing, tapi juga memasang jangkar. Mereka memilih sekitar Pulau Umang dan Pulau Oar. Dua pulau ini ‘bersebelahan’.
Malamnya, pukul 19.00 WIB, mereka tiba di tempat pemancingan yang baru, lalu menurunkan jangkar. “Kira-kira seratus meter lah dari kedua Pulau, Umang dan Oar,” jelas Kasmin. Di sana mereka menetap sampai bencana itu tiba.
Sekitar pukul 21.30 WIB, mereka dikagetkan dengan adanya suara gemuruh yang tak biasa mereka dengar. Tidak lama mereka melihat gelombang yang cukup tinggi, jarak dari mereka diperkirakan hanya sekitar tujuh meter.
“Waktu itu kami asyik mancing, tiba-tiba ada suara aneh. Tak lama saya lihat ombak tinggi sekali, ya mungkin 8 meter, saya yang pertama lihat. ‘Itu naon (apa)?’ tanya saya pada dua tamu saya.”
Tak pakai waktu lama, ia sudah paham itu gelombang besar tsunami yang sedang menerjang mereka. Keputusan cepat diambilnya. “Saya langsung putusin jangkar, terus melaju melawan arah ombak ke tengah,” kisahnya.
Loh, kok malah ke tengah bukan ke pinggir?
“Kalau ada ombak besar memang harus ke tengah,” kata tokoh masyarakat di RT 01 RW 01 Sumberjaya ini seraya tersenyum berbagi pengalamannya.
Apa tidak hancur kapalnya diterjang gelombang?
“Enggak! Kalau di tengah laut, ombak itu masih padat, tidak pecah, dan lautnya masih dalam. Tapi ada tekniknya, tidak sembarang hajar ombak.”
Caranya, terang dia, “Jadi posisi kapal tidak lurus ketika berhadapan dengan ombak, tapi menyamping. Kayak mengiris cabe gitu. Jadi kita mengiris ombak,” jelasnya dengan sesungging senyum di wajah.
Ia lanjut bertutur.
“Jarak (waktu) ombak pertama dengan ombak kedua kurang lebih lima menit. Ombak kedua tidak sebesar ombak pertama. Tapi kata orang di darat ombak kedua yang besar. Sebetulnya besarnya ombak (kedua) karena ada ombak pertama yang mulai turun ke laut tapi dihantam lagi dengan ombak kedua, jadi tambah besar. Kalau di laut enggak begitu,” ujar pria yang telah menghabiskan waktu sebagai nelayan tidak kurang dari 25 tahun ini.
“Pokoknya tujuan saya itu ke tengah laut. Sampai ombak yang ketiga lewat, Alhamdulillah tidak ada lagi ombak sebesar itu. Akhirnya kami ke bagang yang ada di tengah laut,” ungkapnya.
Baca: Sekeluarga Selamat dari Tsunami setelah Batalkan Nonton Band
“Sampai di bagang, kami bertemu dengan dua orang. Lalu kedua orang ini minta diantarkan ke darat karena khawatir dengan motornya. Akhirnya kami antarkan. Jadi di kapal itu ada lima orang. Kurang dari 50 meter dari bibir pantai, kami putuskan kembali ke tengah lagi karena takut mesin rusak. (Karena) waktu itu sampah di laut udah banyak sekali. Khawatir ada yang nyangkut di baling-baling, nanti bisa mati mesinnya,” ceritanya.
“Kami kembali lagi ke bagang. Sebelum kembali, kami melihat ada dua orang di atas pohon Pulau Oar mereka minta ditolong. Tapi keadaannya tidak memungkinkan, akhirnya kami biarkan aja, kami lanjut menuju bagang,” jelasnya.
“Kami sampai lagi di bagang jam sebelas (malam) mungkin. Kami menginap di bagang malam itu. Paginya, sekitar jam enam, baru kami menuju darat. Tiba di darat jam setengah delapan mungkin. Tapi kami mampir dulu selamatin orang yang tadi malam di pohon. Mereka masih di pulau itu. Untungnya, dua orang yang di bagang tidak ikut kami. Jadi kami hanya berlima di kapal,” tutupnya.* Azim Arrasyid