Hidayatullah.com | SUAMI-istri itu akhirnya “bersanding” lagi, setelah sekitar 23 tahun lamanya berpisah. Sungguh “perjumpaan” yang mengharubirukan.
Ini bukanlah cerita roman picisan. Ini kisah cinta sejoli sehidup dan semati. Tak berlebihan. Keduanya kini bukan lagi berdampingan di pelaminan, melainkan di pemakaman.
Sejak bertahun-tahun sebelumnya, ada dua makam di situ. Makam pertama, terletak di bagian barat, ditempati oleh almarhum KH Abdullah Said, yang wafat di Jakarta pada 4 Maret 1998 silam.
Makam kedua, terletak di bagian timur, sudah lebih dulu ditempati almarhumah Hj Aisyah. Ia wafat pada 16 – 7 – 1994 silam, sesuai ukiran tulisan di kayu nisannya.
Kuburan keduanya ditempatkan berdampingan di Gunung Tembak, pada salah satu sisi Pondok Pesantren Hidayatullah, ponpes yang didirikan Kiai Abdullah Said setengah abad lalu.
Meskipun sang kiai adalah pendiri sebuah pergerakan Islam yang kini memiliki lebih dari 600 ponpes se-Indonesia, namun lokasi makamnya itu tampak sederhana. Menempati tanah datar di antara pepohonan di dekat danau besar, dua makam itu dibikin tanpa pagar apalagi pintu gerbang. Juga tanpa papan nama apapun. Berbeda dengan kompleks pemakaman pada umumnya.
Cuma ada satu nisan kayu dibentuk minimalis –sebagai penanda makam Kiai– dan dua nisan kayu berukiran sederhana –sebagai penanda makam Hj Aisyah. Nenek Icha, demikian almarhumah dikenal semasa hidupnya, adalah ibunda dari Kiai Abdullah Said. Ia juga biasa disebut “Neneknya Pesantren” sebagai bentuk penghormatan dari para penghuni ponpes.
Masih di situ, tidak ada makam lain kecuali makam keduanya sampai tanggal 10 Shafar 1443H. Jumat (17/09/2021) siang itu, sejumlah pemuda segera diperintahkan untuk menggali liang lahat di antara kedua makam tersebut. Perintah itu keluar setelah sebuah kabar duka menghampiri.
“Innalillahi wainnailaihi rajiun. Maafkan Ibu, Ibu sudah meninggalkan kita di hari yang mulia ini,” ungkap Ustadz Fathun Qorib dengan suara tertahan lewat WhatsApp.
Fathun adalah putra kelima dari KH Abdullah Said. Yang barusan meninggal adalah istri sang kiai, yaitu Ustadzah Aida Chered (baca: “Khirid”). Kepergian Bunda Aida, demikian dikenal, tetiba membuat langit Gunung Tembak yang agak mendung menjadi berkabung. Sementara segenap pengurus YPPH segera sibuk mengatur segala sesuatunya untuk pengurusan jenazah.
Syarifah itu Menumpang di Guest House
Ambulans BMH melaju dikawal Patwal dari Polresta Balikpapan dan mobil lain yang ditumpangi pengurus Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah. Rombongan membelah lalu lintas dari Rumah Sakit Pertamina Balikpapan, tempat Bunda Aida wafat, menuju wilayah timur Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat itu.
Di rumah duka, kawasan Blukus, sekitar 1 kilometer dari Ponpes Hidayatullah Gunung Tembak, para pentakziyah berdatangan silih berganti dengan wajah-wajah sembab.
Suasana duka juga menyebar ke seantero Indonesia bahkan luar negeri, dimana para santri, kader, pengurus, warga, dan segenap jamaah Hidayatullah berada. Linangan air mata dan doa-doa mengalir deras, seiring flyer-flyer duka yang memviral di berbagai media sosial.
Bakda isya, pantauan Hidayatullah.com Balikpapan, cuaca bersahabat di Gunung Tembak. Masjid Ar-Riyadh sedari maghrib sudah dijejali para ustadz, santri, warga, jamaah, tetamu, dan keluarga almarhumah. Tidak sepenuhnya penuh, karena di masjid ini diterapkan jaga jarak, bagian dari protokol kesehatan. Namun melubernya jamaah tak bisa dihindari.
Jenazah memang akan segera dimakamkan pada Jumat malam Sabtu itu juga, meskipun tak semua keluarga almarhumah sudah tiba di Balikpapan. Sebagian putra-putrinya masih tertahan di Sumatera, Jakarta, dan Sulawesi. Sesuai wasiat almarhumah, “agar pemakamannya disegerakan,” jelas Ustadz Nashirul Haq (Ketua Umum DPP Hidayatullah yang juga menantu almarhumah), dalam penyampaiannya mewakili keluarga di mimbar masjid, sebelum mayit dishalatkan.
Berbeda dari biasanya, shalat jenazah kali ini dipimpin langsung oleh Pemimpin Umum Hidayatullah, Ustadz Abdurrahman Muhammad.
Usai shalat, Sang Pemimpin sempat turut serta mengangkat keranda almarhumah untuk dibawa ke pemakaman. Para pengantar, selain dari Balikpapan, juga jamaah dari luar kota yang sempat datang ke Gunung Tembak. Mereka pun berjalan kaki sekitar 100 meter dari masjid ke lokasi makam.
Dalam suasana penuh kedukaan, Bunda Aida diantarkan kepergiannya oleh sejumlah anak-menantunya, kerabat dekat, para sesepuh ponpes, dan sejumlah jajaran DPP Hidayatullah yang dapat terbang hari itu juga dari Jakarta.
Bunda Aida dimakamkan tepat di antara makam dua sosok tercintanya, KH Abdullah Said dan Hj Aisyah.
Lokasi ketiga makam itu dekat dengan eks guest house pesantren, sebuah bangunan kayu sederhana tapi elegan yang pernah ditempati Aida Chered-Abdullah Said bersama 7 putra-putrinya.
Selama hidup bersama, pasangan suami-istri pejuang itu memang tidak pernah membuat atau dibuatkan rumah secara khusus sebagai pimpinan. Keduanya hanya nebeng di guest house sampai Kiai Abdullah Said wafat.
Sebenarnya, sudah banyak yang bermaksud membuatkan rumah yang besar dan bagus agar dapat menerima tamu dengan enak, tapi Kiai Abdullah Said tidak setuju. “Kalau untuk menghormati tamu kita siapkan guest house yang dilengkapi dengan fasilitas yang cukup,” alasannya sebagaimana diceritakan (Almarhum) Ustadz Manshur Salbu dalam bukunya Mencetak Kader.
Keturunan Ulama Kerajaan Kutai
Almarhumah itu bernama lengkap Aida binti Sayyid Agil bin Sayyid Saleh Chered (baca: Khirid). Menilik dari namanya, Ustadzah Aida bukanlah sosok biasa. Wanita kelahiran Balikpapan pada Sabtu (23/07/1949), 27 Ramadhan 1367 H ini merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad.
“Ibunda Aida Khirid sesungguhnya satu di antara anak cucu keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Almarhumah Aida adalah syarifah ahlul bait Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam dirinya ada unsur Khadijah, Fatimah, Ali bin Abi Talib radhiallahuanhum ajma’in, sosok-sosok sabar, zuhud, tawadhu, serta kokoh dan tegar dalam mengemban amanah perjuangan Islam,” ujar Habib Abu Umar, salah seorang dai di Balikpapan kepada Hidayatullah.com Balikpapan, Ahad (19/09/2021).
Baca juga: Sekilas Dzurriyah Rasulullah (Almarhumah) Syarifah Aida “Khirid”, Istri Pendiri Hidayatullah
Selain itu, berdasarkan cerita Ustadz Fathun yang diperoleh dari saudara-saudara ibunya, Bunda Aida juga memiliki garis keluarga dari ulama pada masa Kerajaan Kutai dan tokoh agama di Kota Balikpapan.
“Yang paling dekat yang kami ketahui, ayah beliau yang mewakafkan tanah untuk Masjid At-Taqwa Klandasan (Masjid Raya Balikpapan, red). Makanya ayah beliau dimakamkan di depan masjid tersebut,” tuturnya kepada Hidayatullah.com Balikpapan, Jumat (17/09/2021).
Pernah, tuturnya, saudara-saudara Bunda Aida dan Fathun mewakili ibunya dikumpulkan oleh Wali Kota Balikpapan periode 2001–2006 dan 2006–2011, Imdaad Hamid, saat pemugaran Masjid At-Taqwa. Mereka diajak Wali Kota membahas pemugaran makam keluarga Bunda Aida tersebut.
Namun Fathun mengaku lupa persisnya, yang dimakamkan di depan Masjid At-Taqwa itu apakah ayah Bunda Aida ataukah kakeknya. “Tapi makam itu memang ada dan kami beberapa kali diajak saudara ibu untuk menengok makam tersebut.”
Selain itu, ia juga menuturkan bahwa makam kakek Bunda Aida berada di pemakaman Kerajaan Kutai. “Karena kakek beliau adalah salah satu ulama Kerajaan Kutai masa lalu. Itu cerita yang kami dapatkan dari saudara-saudara ibu,” ujarnya.
Tampaknya, kata dia, makam yang di depan Masjid At-Taqwa itu dari jalur bapaknya Bunda Aida (Sayyid Agil) dan makam yang di pemakaman Kerajaan Kutai itu dari jalur ibunya Bunda Aida (Syarifah Fatimah binti Saleh bin Mukhdar Al-Yahya). “Karena marganya Babah (panggilan untuk ibunya ibu) Yahya. Dan di literatur, ulama Kerajaan Kutai itu marganya Yahya. Wallahu alam,” tutur Ketua Yayasan Ittihaadi Mardhatillah Indonesia Balikpapan ini. Informasi soal makam itu kemudian ditegaskan oleh saudara bungsu almarhumah Bunda Aida yang dikunjungi Fathun pada Selasa (21/09/2021) siang.
“Yang di depan At-Taqwa rupanya (makam) Bapaknya Ibu dan Datok (kakek) dari pihak Bapak beliau. Dan yang di pemakaman Kerajaan Kutai itu Datok dari pihak Ibu. Baru tanya ke saudara Ibu,” ujar Fathun kepada Hidayatullah.com Balikpapan.
Uniknya, meski bergaris keturunan dari Rasulullah, tokoh agama di Balikpapan, maupun ulama Kerajaan Kutai, Fathun Qorib mengaku bahwa almarhumah ibunya jarang menceritakan perihal itu kepada anakanaknya. Hal ini juga yang mungkin membuat Fathun kurang lengkap memahami silsilah keluarga dari ibunya tersebut.
“Waktu kami ke makam dato yang di pemakaman Raja Kutai itu juga diajak sama abang ibu (paman Fathun, red) yang tertua. Dan ibu juga tidak pernah cerita apa-apa,” akunya.
“Ibu sendiri tidak pernah membahas (tentang silsilah) nya kecuali sambil lalu,” katanya juga.
Kenapa?
“Nampaknya beliau tidak mau terlalu mengangkat hal itu. Tapi sewaktu beliau ke Palu, kami diajak bersilaturahim ke keluarga beliau yang rupanya keluarga besar Pimpinan Pesantren Al-Khairaat,” ujar Fathun menyebut nama pesantren besar dan berpengaruh di Sulawesi Tengah yang didirikan oleh Habib Idrus bin Salim Aljufri atau yang dikenal dengan panggilan Guru Tua.
Bagaimana pula hubungan nasab keluarga besar Pendiri Hidayatullah KH Abdullah Said itu dengan keluarga besar Ponpes Al-Khairaat? Bagaimana jalur nasab Syarifah Aida yang diakui tersambung dengan Baginda Nabi Muhammad? Hidayatullah.com mencoba menelusuri silsilah garis keturunan tersebut. (Update per tanggal 21/09/2021 pukul 13.40 WITA)* Muh. Abdus Syakur/bersambung
Baca juga: Memoar: Catatan Mengiringi Wafatnya Ibunda Para Kader Hidayatullah