MAKAN malam kali ini terasa lebih hangat dan sarat akan ukhuwah. Bukan karena menu yang beraneka cita dan rasa khas Timur Tengah, atau hangatnya teh daun mint dan secangkir kopi, tapi karena kami duduk satu meja dengan seorang pemuda Gaza, Palestina. Bersama dua sahabat saya, Lukman Hakim dan Abdil Munzir merasa istimewa bisa duduk bersamanya di antara ratusan mahasiswa lainnya malam, hari Sabtu (15/12/2012) di kantin kampus Universitas Islam Madinah (UIM).
Abd el-Qadir Umar Abd el-Qadir Fayyadh , 19 tahun 6 bulan. Itulah namanya yang saya lihat di situs resmi Islamic University of Madinah. Penampilan santun dengan wajah khas bangsa Palestina yang sering terlihat di layar kaca dan surat kabar di Madinah. Pertemuan kami berempat malam itu menyisakan cerita panjang perjalanan anak Jalur Gaza ini menuju Kota Nabi, Madinah al-Munawwarah, Saudi Arabia.
“Saya sudah sepekan di Madinah ini, tapi saya masih susah meyakinkan diri saya bahwa saya disini,” kata Abd el-Qadir membuka pembicaraannya dengan logat Arab khas Palestina.
“Masya Allah… Benarkah?” sambut saya.
“Ya, keluar dari Jalur Gaza seperti mimpi indah dan Anda memiliki nyawa baru,” katanya meyakinkan sambil menghirup udara panjang.
“Apakah ini kunjungan pertamamu ke Arab Saudi?” Abd Munzir mencoba menyusuri lebih jauh.
“Bahkan ini untuk pertama kalinya Ana keluar dari Gaza, Penjara Raksasa itu,” jawabnya, dengan mata terbuka meyakinkan, lalu memuji Allah Subhanahu Wata’ala.
Saya teringat laporan khusus “Penjara Raksasa Bernama Gaza” di salah satu rubrik majalah Suara Hidayatullah beberapa bulan lalu di Tanah Air. Pikiran saya langsung terbang ke Indonesia, negeri yang sangat peduli dengan kondisi saudaranya di Bumi Para Nabi itu.
Terbayang pula ramainya suasana demontrasi pro Palestina dengan spanduk-spanduk besar bertuliskan “Save Palestine!”, “Bebaskan Al-Quds!”, “SBY, Kirim TNI ke Gaza!!!” dan kalimat-kalimat serupa, diiringi nasyid-nasyid heroik perjuangan, lalu ditutup dengan pelelangan dana sosial peduli Palestina.
Saat di Tanah Air, saya dan teman-teman selalu ingin mendengar langsung warga Palestina tentang banyak hal. Saya sering melihat dan membaca kabar-kabar al-Quds, mendengarkan laporan perjalanan para relawan yang dimudahkan Allah menuju Kiblat pertama umat Islam itu. Dan kini, cerita itu hanya berjarak 30 cm dari telinga saya, langsung dari lisan pemuda Syam.
“Anda sering ke Masjid Al-Aqsha?” tanya Lukman sambil menikmati ayam panggangnya.
“Demi Allah, bahkan saya belum pernah melihat Al-Quds, kecuali di televisi Gaza. Yahudi membuat penjara raksasa bernama Gaza, kami dikepung dari darat, laut dan udara. Tank-tank bergerak di samping rumah-rumah kami seperti hewan ternak. Ke mana mata memandang hanya terlihat moncong senjata yang masih panas setelah memuntahkan pelurunya….” tutur Abd el Qadir dengan gaya bicara yang cepat.
“Kami mengambil keringanan shalat di dalam rumah dengan keluarga kami, darurat. Anda tidak akan pernah bisa membayangkan tank-tank itu mendobrak pintu rumah kami dan masuk menabrak panci-panci yang bergelantungan di dapur kami. Anda tidak bisa membayangkan moncong senjata itu berada tepat di kepala seorang bapak, dan istrinya menahan jari telunjuk (tentara) Yahudi agar tidak menembak suaminya. Dan bapak itu mati di depan istrinya, lalu datang giliran sang istri dan anak untuk ditembak juga…”
Dibiarkan Membangun, lalu Dibom
Mendengar langsung cerita el-Qadr, seolah kantin malam itu hanya milik kami berempat. Sangat dramatis. Sambil menyebut asma Allah dan bertakbir, kami mengikuti “siaran langsung” kabar Palestina ini. Tentunya sudah sering kami dengar cerita serupa, tapi kali ini beda getarannya.
“Alhamdulillah ya akhi, antum (kamu) sekarang bersama kami di sini (Madinah, red). Di Indonesia sana, Anda memiliki banyak saudara yang peduli dengan kondisi Palestina,” sahut saya, lalu menceritakan pada Abd el Qadir betapa semangatnya teman-teman di Tanah Air mendukung pembebasan Palestina.
“Alhamdulillah! Semoga Allah membalas kebaikan teman-teman di sana. Ini makan malam pertama saya di kampus (UIM), dan saya duduk dengan Antum; saudara-saudara saya dari Indonesia. Di Gaza saya melihat banyak orang Indonesia yang membantu kami, mereka membangun Rumah Sakit dan Madrasah, juga markas logistik untuk kami,” katanya sambil tersenyum penuh rasa syukur.
“Tapi dasar Yahudi, sepekan kami dibiarkan membangun, lalu mereka datang pekan berikutnya dengan pesawat-pesawat besar membawa bom dan rudal menghancurkan bangunan kami,” lanjutnya lagi, sambil menggelengkan kepala keheranan.
Makanan kami masih banyak tersisa, terlalu larut dalam cerita haru kondisi saudara-saudara seiman di Palestina. Saya lihat raut wajah Mundzir menyisakan air muka sedih dan prihatin. Sedangkan Lukman masih memegang gelas teh yang dari tadi jarang diminumnya. Kami pun mencoba mengorek perjalanan dia menuju Kota Nabi, dan bagaimana dia bisa diterima di kampus UIM ini (cerita perjalanannya akan saya tuliskan di bagian kedua dari tulisan ini).
30 menit berlalu, azan Isya’ memanggil kami. Setelah mencuci tangan, kami berempat bergerak menuju masjid Fakultas Bahasa Arab di dekat Mat’am (tempat makan) ini. Sejak itu pula, sepertinya kami diresmikan sebagai teman dekat baru Abdul Qadir Umar. Kami menjelaskan seluk beluk kampus dan aturannya, seolah kami mahasiswa senior yang sudah lama berada di Madinah ini.
“Alhamdulillah… Saya bisa menyembah Allah dengan tenang di sini, tanpa bisingan peluru, dan tanpa suara menggigit dari rantai tank dan mesin pesawat tempur,” ucapnya sambil berjalan di tengah kami, mengangkat tangannya dengan telapak terbuka.* Bersambung…
* Muhammad Dinul Haq, kontributor hidayatullah.com di Madinah