sambungan halaman SATU
22 Dusun Binaan
Sepak terjang ketiganya lama kelamaan dikenal setiap penduduk dusun di lereng Merapi. Hanya berselang empat bulan setelah pengajian pertama dilakukan, terdapat 22 dusun yang sudah disambanginya dan penduduknya siap mengaji.
Dalam sepekan, ada empat jadwal pengajian yakni setiap hari Selasa, Kamis, dan Jum’at serta Ahad. Setiap hari Kamis puluhan dusun di Merapi serentak melakukan pengajian yang dihadiri oleh ribuan orang.
Saat ini yang dikhawatirkan adalah berhentinya pengajian karena kurangnya dana. Para pengajar sekali “naik” dibekali uang hanya sebesar Rp. 25 ribu yang diperuntukkan membeli bensin. Padahal ada dusun yang jaraknya dari Talun sampai puncak, 10 km. Khusus hari Kamis, ada 35 Ustadz-Ustadzah yang diterjunkan. Belum lagi ditambah biaya penyediaan snack yang menghabiskan dana sampai Rp. 3 juta sekali naik.
Menolong Agama Allah, Bantuan Mengalir
Warga di Talun dan lereng Merapi mayoritas muslim. Tapi hanya beberapa dusun saja yang memiliki masjid atau mushola. Itupun menurut Nur dan teman-temannya, seringkali hanya berupa triplek kotak yang dibangun seadanya. Penduduk mengajukan permohonan pembangunan masjid. Permintaan pertama datang dari penduduk Dusun Juwono, kecamatan Dukun, Muntilan.
Dusun itu belum pernah memiliki satu mushola-pun. Shalat berjamaah hanya dilakukan pada saat bulan Ramadhan. Lokasi berpindah-pindah dari rumah ke rumah.
Mendengar kabar itu, hati Nur dan teman-temannya di Al Barokah terenyuh. Mau tak mau mereka harus segera bekerja mendapatkan uang pembangunan masjid. Jika tidak, kristenisasi di Muntilan akan makin merangsek masuk.
Nur menghubungi seorang relawan yang pernah membantunya ketika erupsi. Kondisi Juwono sampai ke telinga para donatur di Yogyakarta. Di suatu siang ada seorang tamu dari kota Gudeg itu yang mendatangi Nur dan menyerahkan Rp. 9 juta, tunai. Uang itu dipakai membeli tanah di Juwono yang akan digunakan sebagai lokasi masjid. Harga tanah Rp. 11 Juta.
Selang beberapa hari kemudian, telepon Nur kembali berdering. Diujung telepon terdengar kabar uang yang baru saja ditransfer sebesar Rp. 25 juta dari seorang donatur untuk pembangunan masjid. Berikutnya, bertubi-tubi dana lainnya berkucuran.
Ada seorang Ustadz yang menghubungi Nur dan menyampaikan amanah dari jamaahnya sebesar Rp. 40 Juta. Kedatangan tokoh Muhammadiyah, Dr Amien Rais, saat peninjauan lokasi berakhir dengan donasi sebesar Rp.60 Juta. Dalam hitungan pekan, persiapan awal pembangunan masjid siap dilakukan.
Belum lagi masjid selesai dibangun, datang penduduk dari lereng Merapi yang juga minta dibuatkan masjid.
“Saya terus nelpon ustadz yang kasih Rp. 40 juta untuk pembangunan masjid di Juwono. Saya bilang, ustadz apa bisa ke tempat kami sekarang?” Lihat dulu!” cerita Nur seru.
Tiga hari berselang Nur mendapat kabar dari sang ustadz tersebut mengenai pengiriman dana pembangunan masjid sebesar Rp. 60 juta. Uang tersebut langsung disalurkan Nur pada warga Gumuk untuk segera dilakukan pembangunannya. Ketika pembangunan masjid di sana sedang berjalan, ada lagi permintaan pembangunan masjid dari Dusun Banteng.
Saat survey, Nur dan Anik menemukan kondisi masjid yang terbuat dari triplek. Nur kembali menghubungi ustadz yang sama.
Saat itu sang ustadz sedang berada di Gumuk. Jarak Gumuk-Banteng dekat.
“Alhamdulillah, Ustadz datang ke lokasi. Langsung diukur, 7×7 meter. Akhirnya saya dikasih Rp. 60 juta. Subhanallah. pembangunan langsung dimulai,”ucap Nur penuh syukur.
Ada kisah lain. Seorang tak dikenal menghampiri Nur dan menanyakan kebutuhan masjid. Ia ingin menyumbang pembelian kaca bagi ketiga masjid itu. Setiap uang yang masuk melalui Nur, langsung diserahkan seluruhnya pada pengelola masjid setempat.
Tidak Takut Penghasilan Berkurang
Sampai sekarang pengajian terus berjalan. Jumlahnya kini sudah mencapai ribuan orang. Pengajian yang dirintis oleh tiga sekawan Nur-Herlina-Anik itu bagaikan air segar yang menyembuhkan dahaga tentang Islam.
“Aku ki kadang ketawa sama dik Anik. Awake ki ngopo, sih? Kok, jadinya seperti ini,” (saya kadang tertawa dengan Anik. Sebenarnya pekerjaan kita ini apa kok jadinya seperti ini) tutur Nur keheranan dengan perkembangan pesat pengajian di daerahnya. Permintaan tidak hanya datang dari dusun di lereng Merapi saja tapi meluas ke dusun-dusun di sekitar Talun.
Dengan keterbatasan tenaga dan dana, Nur belum bisa menggerakkan pengajian di sana. Apalagi hal ini terhalang dengan lokasi yang jauh dan terjal. Namun, pencarian dana dilakukan terus bahkan sampai ke sebuah perusahaan Umrah dan Haji plus di Yogyakarta. Di hadapan para jamaah, Nur mempresentasikan kondisi di Talun dan lereng Merapi dan tentang kebutuhan mereka.
Setiap pekannya, ada saja tamu berdatangan ke Al Barokah dari berbagai kota. Tidak sedikit pihak yang langsung menghubungi Nur untuk mendapat penjelasan tentang lahan dakwah di sana.
Para suami Ibu-Ibu Yayasan Al Barokah begitu luar biasa dukungannya pada kegiatan dakwah isteri mereka. Seperti suami Nur yang berprofesi sebagai petani. Ia merelakan isterinya “blusukan” ke desa-desa untuk memantau kebutuhan pengajian masyarakat.
Pasangan suami isteri itu merelakan warung mereka ditutup sementara waktu. Sama seperti ketika hidayatullah.com datang di suatu pagi yang tidak direncanakan sebelumnya.
Selang satu jam sejak kedatangan media ini, Nur langsung menutup warungnya dan mengajak mengunjungi masjid pertama yang dibangun di Dusun Juwono.
Meski hidupnya disibukkan urusan dakwah,Nur tidak khawatir penghasilannya berkurang. Ia merasa ada sebuah kenikmatan tiada terkira bisa ikut berdakwah.
“Ya terserah gusti Allah saja. Sing penting anakku bisa sekolah. Kita pingin apa, yang penting bisa. Nanti terserah Allah nuntun aku. Yang penting usaha. Saatnya kerja, ya kerja,”terang Nur yang dua tokonya pernah ludes terbakar pada 3 September 2012 itu.*