Berkah Madinah
Atijah mengakui menjadi pekerja di negeri orang seperti ini sungguh melelahkan. Meski demikian, Ia mengaku tetap senang.
“Capek tapi seneng. Capek, tapi berkah,” tuturnya dengan sumringah.
Jangan bayangkan gaji pekerja seperti Atijah besar. Rata-rata sebulan ia hanya mengantongi 700 Riyal/bulan atau setara Rp. 2 juta/perbulan.
Hal ini berbeda dengan gaji para Asykar. Berdasarkan informasi yang didapat hidayatullah.com, gaji Asykar bisa mencapai 4000 Riyal atau setara Rp 12 juta perbulan.
Meski gaji Atijah tidak sampai Rp. 2,5 Juta/bulan ia mengaku mampu mengirim Rp. 10 juta untuk keperluan keluarganya di Purwakarta dalam setahun.
Ia mengakui, rezeki datang darimana saja di Masjid Nabawi. Ada saja pemberian jamaah yang diterimanya.
“Muhun atuh, da jamaah Indonesia banyak yang kasih uang, makanan. Jamaah Turki ada yang kasih kain,”ungkap janda beranak empat itu dengan logat Sundanya.
Keberkahan berlanjut dengan kesempatan menikmati ibadah Umrah. Setidaknya, ia mengaku telah tiga kali dalam setahun melakukan ibadah Umrah. Mereka beramai-ramai pergi dengan bus yang sudah disediakan. Bus akan mengantarnya sampai ke Masjidil Haram.
Keuntungan lain bagi para pekerja yang memiliki masa lebih dari dua tahun mereka difasilitasi menunaikan ibadah Haji.
Keberkahan lain tak berhenti di situ. Para keperja diberi keleluasaan berdoa di Raudhah (taman surga), tempat doa paling mustajab di dekat makam Rasulullah Muhammad. Para pekerja ini memasukinya di luar jam-jam umum.
Atijah menambahkan, pintu pembatas dengan makam Rasulullah yang biasanya ditutup, dibuka secara khusus untuk para pekerja itu.
Karena itu mereka bisa menikmati kapan saja berdoa dan merasakan kedekatan yang lebih dengan Rasulullah.
Akhlaq Mulia
Bekerja di masjid yang dicintai Rasulullah tidaklah sama dengan bekerja di tempat biasa. Inilah yang dirasakan Atijah.
Selain diharuskan menutup aurat dan bercadar, para pekerja perempuan di Nabawi ini juga dituntut menjaga akhlaknya. Mereka juga dilarang berbicara sembarangan yang tak membawa manfaat.

Ketika hidayatullah.com bertanya tentang suka-duka dan kesulitan dalam bahasa Atijah mengatakan, kemampuan berbahasa Arab akan meningkat seiring interaksi mereka dengan jamaah.
“Awalnya saya juga nggak ngerti, mbak. Ada jamaah yang mengatakan: ta’aly..ta’aly! Oh, berarti disuruh mendekat,” kenang nenek dua cucu ini.
Meski ada kendala bahasa, bekerja di Masji Nabawi diakui tidaklah terlalu merepotkan. Sebab menurutnya, asalkan bisa mengerjakan pekerjaan, itu sudah cukup. Ia mengaku ketika awal datang, ia diberi pengarahan tentang apa pekerjaan yang akan dilakukan. Pengarahan tidak banyak, sebab selebihnya, para pekerja langsung praktek.
Satu hal yang tak bisa ditutup Atijah adalah kerinduannya pada Tanah Air tercinta. Sebab dalam kontrak, pekerja baru bisa dilepaskan jika masa kerja sudah mencapai dua tahun. Dalam masa kerja ini, mereka berhak mendapat cuti selama 40 hari. Setelah itu dinanti kembali kehadirannya di masjid yang memiliki keutamaan pahala shalat 1000 kali lipat itu.*