Hidayatullah.com– Kapus Puslit Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) periode 2001-2006, Hery Harjono, menilai, pola pikir dalam menghadapi ‘kepungan’ potensi gempa semestinya diubah.
Selama ini riset-riset gempa tak banyak beranjak. Kalaupun ada riset, itu tidak menjadi fokus utama institusi. Kalau pun ada, itu atas usaha para peneliti dengan menggalang kerja sama dg mitra luar negeri.
“Bagaimana mungkin negara yang dikepung gempa dan gunung api seperti tak peduli. Kita baru terkejut kalau bencana itu datang,” ungkapnya dalam rilisnya diterima hidayatullah.com Jakarta (06/08/2018).
Pemerintah harus melakukan riset geologi laut. Tujuannya, agar bisa mengetahui potensi tsunami jika terjadi gempa. Selain itu, perlu dibuat jaringan seismograph bawah laut.
Sepekan ini Indonesia dikejutkan oleh dua gempa yang menghantam Nusa Tenggara Barat (NTB) dan sekitarnya, khususnya Lombok Utara. Menurut Hery, dari sisi geologi, pada dasarnya tidak ada yang aneh dari dua gempa hampir berurutan ini.
Deputi Kepala LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian 2006-2011 ini memaparkan, pada tahun 1979, Lombok dan Bali Utara digoncang gempa bahkan saat itu diikuti tsunami. Tahun 1992, gempa dan tsunami dahsyat menghantam Flores.
“Kenapa gempa muncul di sana? Kalau kita cermati, di utara Flores hingga Lombok terdapat patahan atau sesar yang memanjang sejak dari Flores hingga Lombok. Patahan ini sebagai respons terhadap desakan Kontinen Australia,” jelasnya.
Patahan yang disebut Flores Thrust (Patahan Naik Flores) ini berada di bawah laut. Kenampakannya dari rekaman seismik refleksi (alat untuk melihat anatomi kerak bumi) sangat jelas. Dari ujung timur Laut Flores, tampak dasar laut terpatahkan, dimana bagian utara menyusup ke bawah.
Patahan itu dapat diikuti dengan jelas hingga Lombok. Di utara Bali, deformasi melemah atau tidak sekuat di bagian Lombok.
“Kebetulan pada tahun 1981saya ikut Ekspedisi Marine Geology – Rama 12 yang memetakan patahan ini. Ekspedisi dengan menggunakan kapal riset R/V Thomas Washington ini dipimpin oleh Prof. Eli Silver dari University of California Santa Cruz,” ungkapnya.
Masih penjelasannya, data gempa, baik lokasi gempa maupun focal mechanism (mekanisme pusat gempa) kedua gempa jelas berhubungan dengan keberadaan Flores Thrust.
Lantas apa yang penting (harus) dilakukan?
“Sejatinya baru Sumatera yang kita ketahui tentang kegempaannya. Selebihnya tak banyak kita ketahui. Jawa pun hanya sedikit yang kita ketahui. Saya kira kita perlu mempelajari deformasi yang terjadi di sepanjang Flores Thrust,” ujarnya.
Masalahnya, kata Hery, letaknya ada di bawah laut. Apa boleh buat. “Kita perlu memetakan patahan itu lebih detil.”
Untuk itu, perlu membuat jaringan (temporary) OBS (Ocean Bottom Seismograph) guna memetakan pola gempa, dan tentu saja kapal riset untuk memetakan anatomi patahan.
“Studi deformasi dengan menggunakan GPS amat perlu. Kita beruntung ada beberapa pulau di utara NTB dan NTT yang memungkin kita menempatkan GPS,” terangnya.*