Oleh Masrokan*
Hidayatullah.com–Di dekat Rukun Yamani, duduklah empat remaja tampan rupawan, berasal dari keluarga mulia. Mereka adalah Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mus’ab bin Zubair, saudaranya lagi bernama Urwah bin Zubair, dan satu lagi Abdul Malik bin Marwan. Mereka terlibat pembicaraan serius. Kemudian seorang di antara mereka mengusulkan agar masing-masing mengemukakan cita-cita yang didambakannya. Maka khayalan dan cita-cita mereka melambung tinggi ke alam luas.
Mulailah Abdullah bin Zubair angkat bicara. “Cita-citaku menguasai seluruh Hijaz dan menjadi khalifahnya.” Mus’ab menyusulnya, “Keinginanku menguasai dua wilayah Iraq dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.” Giliran Abdul Malik bin Marwan berkata, “Bila kalian berdua sudah merasa cukup dengan itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi khalifah setelah Muawiyah bin Abi Sufyan.”
Sementara itu Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatah pun. Semua mendekatinya dan bertanya, “Bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?” Ia berkata, “Semoga Allah SWT memberkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim (orang berilmu dan beramal), sehingga orang-orang akan belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabb-Nya, sunnah Nabi SAW dan hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki surga dengan ridha Allah SWT.”
Hari-hari berganti dengan cepat. Kini Abdullah bin Zubair dibai’at menjadi khalifah menggantikan Yazid bin Muawiyah yang telah meninggal. Dan pada akhirnya, dia pun terbunuh di Ka’bah, tak jauh dari tempatnya mengungkapkan cita-citanya dahulu. Sedangkan Mus’ab bin Zubair telah menguasai Iraq sepeninggal saudaranya Abdullah bin Zubair. Dia juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya. Adapun Abdul Malik bin Marwan, menjadi khalifah setelah ayahnya wafat dan bersatulah suara kaum Muslimin paska terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan saudaranya Mus’ab, setelah keduanya gugur di tangan pasukannya. Akhirnya dia berhasil menjadi raja terbesar pada masanya.
Adapun Urwah bin Zubair untuk merealisasikan cita-citanya dia dengan gigih menuntut ilmu. Beliau mendatangi dan menimba ilmu dari para Sahabat Rasulullah SAW yang masih hidup. Pada gilirannya nanti, Urwah menjadi satu di antara fuqaha’ sab’ah (tujuh ahli fiqih) Madinah yang menjadi sandaran kaum Muslimin dalam urusan agama. Para pemimpin yang saleh, seperti Umar bin Abdul Aziz, pun meminta pertimbangan kepada beliau baik dalam urusan ibadah maupun negara karena kelebihan yang Allah SWT berikan kepada beliau. (Lihat Dr Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwari min Hayati at-Tabi’in, hal. 41-42).
Cita-Cita dan Spirit Hidup
Dalam menjalani kehidupan ini seorang hamba pasti memiliki cita-cita dan tujuan hidup. Cita-cita itu spirit yang sangat diperlukan untuk menjalani kehidupan. Tanpa cita-cita, seorang hamba tidak akan semangat dalam belajar dan bekerja. Tanpa cita-cita, kehidupan akan berjalan monoton.
Dengan adanya cita-cita yang dibangun oleh manusia, kehidupan menjadi dinamis. Sebab, dengan cita-cita yang dimiliki itu seorang akan terdorong untuk terus belajar dan bekerja. Mereka akan berlomba mewarnai panggung kehidupan dengan karya-karya indah dan menyejarah. Mereka terus melangkah tak kenal lelah demi merealisasikan cita-cita yang telah dibangun dalam jiwa-jiwanya.
Dengan cita-cita yang terpatri itu, selanjutnya akan menjadi tekad yang terus bersemi dalam jiwa. Sehingga mendorong seseorang untuk terus berpikir, belajar dan bekerja agar cita-cita itu tak sekadar menjadi harapan, tapi bisa terwujud dalam alam nyata.
Berdimensi Dunia dan Akhirat
Untuk memotivasi jiwa agar terus belajar dan bergerak, seorang hamba perlu membangun cita-cita dalam jiwanya. Namun bagi orang beriman hendaknya cita-cita yang dibangun tak hanya berdimensi duniawi saja, tapi juga akhirat. Sebab orang beriman meyakini, perjalanan hidup tak sebatas di dunia saja, tapi juga sampai akhirat.
Sufyan bin Uyainah berkata, “Dahulu kala, para ulama saling menulis surat satu sama lain dengan kalimat-kalimat sebagai berikut, ‘Barang siapa memperbaiki hatinya, Allah akan memperbaiki lahirnya. Barang siapa memperbaiki hubungan antara dirinya dengan Allah, Allah memperbaiki hubungan antara dirinya dengan manusia. Barang siapa berbuat untuk akhirat, Allah akan mencukupi urusan dunianya.” (Al-Fatawa, 7: 9).
Ketika seseorang hanya mencita-citakan kemuliaan dunia, keberhasilannya hanya diukur dari seberapa besar harapannya itu tercapai ketika ia masih hidup di dunia. Ketika ia tidak mendapatkan hasil sesuai harapan, maka ia kecewa. Itulah ruginya bila seorang hanya mencita-citakan kemuliaan dunia. Namun, ketika seseorang mencita-citakan kemuliaan dunia akhirat, bagaimanapun hasil yang diraih di dunia, ia tak akan pernah merugi. Sebab segala pekerjaan yang dilakukannya pasti berbuah pahala di dunia dan di akhirat. Sehingga, apabila usaha kerasnya belum membuahkan hasil di dunia, maka ia tak putus asa, karena masih ada harapan balasan di akhirat.
Ketika kita berjuang meraih kekuasaan, niatkan bukan untuk mendapat fasilitas dan pelayanan istimewa. Tetapi berjuang menjadi penguasa dengan niat agar bisa menebarkan kebaikan secara luas untuk umat manusia. Kita niatkan untuk menegakkan hukum Allah SWT di tengah kehidupan ini. Selain itu, juga menjadi sarana untuk melayani, mengayomi dan menegakkan keadilan di tengah kehidupan. Ketika kita berjuang menjadi seorang alim, niat kita bukan untuk meraih ketenaran atau memanfaatkan kealiman itu untuk meraih keberlimpahan materi. Tetapi kita berjuang menjadi alim agar bisa tampil mencerahkan di tengah merebaknya kebodohan umat manusia. Sehingga dengan kealiman itu umat bisa kembali berjaya seperti pada mulanya.
Begitu pula ketika kita berjuang untuk menjadi hartawan. Maka, niat kita tak sekadar menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Tetapi kerja keras mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dari jalan yang baik adalah untuk mendukung tegaknya agama Allah SWT di muka bumi. Dengan harta yang berlimpah itu, kita ingin berkontribusi untuk menjamin terlaksananya proyek-proyek dakwah. Itulah orientasi jauh ke depan yang mutlak dimiliki setiap hamba dalam membangun sebuah cita-cita. Allah a’lamu bish shawab.
*Pengasuh Pesantren Hidayatullah Putri, Kendari, Sulawesi Tenggara
Tontong video Masjid Namira Sering Viral Bersih, Sejuk dan Nyaman