Oleh: Mahmud Budi Setiawan*
KEGEMILANGAN pahlawan besar Muslim sekaliber Muhammad al-Fatih, tidak bisa dilepaskan dari peran seorang guru kharismatik bernama: Āq Syamsuddin dan ulama lainnya.
Semenjak usia belia, beliau sudah mendapat pendidikan luar biasa dari Āq Syamsuddin (1398-1459 M). Nama asli beliau: Muhammad bin Hamzah al-Dimasyqi Ar-Rumi.
Ulama ini senantiasa memberi motivasi kepada Muhammad Al-Fatih supaya terus berkobar spirit jihadnya, dan membuatnya yakin bahwa sosok yang digadang-gadang Nabi sebagai pembebas Konstantinopel adalah dirinya.
Atas kebrilianan Syekh Āq Syamsuddin dalam mendidik, Muhammad al-Fatih bukan saja menguasai ilmu agama, tapi juga disiplin ilmu lain, seperti kedokteran.
Fakta ini tidak mengherankan karena Syekh Āq adalah ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan. Dalam iklim dan kondisi seperti inilah pemuda yang di kemudian hari berhasil menaklukkan Konstantinopel ini dibesarkan.
Setiap kali menghadapi urusan-urusan penting, Muhammad Al-Fatih selalu bermusyawarah bersama Syekh Āq Syamsuddin. Termasuk dalam rencana besar pembebasan Konstantinopel.
Dalam usaha pembebasan ini, Syekh Āq Syamsuddin menyertai beliau dan memberi tambahan spirit dan suntikan semangat tatkala semangatnya sudah mulai mengendor.
Lebih dari itu, ulama brilian itu juga terus-menerus bermunajat ke haribaan Allah agar Al-Fatih memenangkan pertempuran legendaris itu.
Pada suatu momen, Al-Fatih mengintip ke tenda Syekh Āq Syamsuddin, Ternyata beliau sedang hanyut dalam doa, wajah kharismatiknya pun berlinang air mata. Rupanya ulama ini sedang mendoakan murid kesayangannya.
Bahkan, saat kemenangan sudah digapai oleh Muhammad al-Fatih, ia tak menunjukkan kegemberiaan yang berlebihan. Terlihat gembira sekadarnya. Tak lebih dan tak kurang.
Menariknya, Muhammad Al-Fatih malah berujar, “Kegembiraanku bukan karena membebaskan kota (Konstantinopel). Kegembiraanku hanya karena adanya orang seperti ini di zamanku.” (Fahd Khalil Zaid, ‘Abqariyyatul Intishar fi al-Ma’arik wa Fath al-Amshar, 230).
Sebuah pernyataan tulus dan jujur dari sang pahlawan sekelas Muhammad al-Fatih bahwa selain pertolongan Allah, ada peran ulama besar yang berada dalam perjuangannya. Apresiasi beliau terhadap ulama sungguh luar biasa. Pantas, jika dalam pertempuran besar ini ia mendapat kemenangan di usia yang masih muda.
Dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2009: 264), menurut catatan Prof. Raghib As-Sirjani, beliau mendengar seorang alim di tempatnya tertimpa suatu musibah, maka dengan segera ia mengeluarkan bantuan dan memenuhi kebutuhannya.
Itu dilakukan dengan respons yang cepat tanpa mempertimbangkan banyak hal. Demikianlah yang dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih kepada ulama.
Selain itu, saat menjelang meninggal dunia, beliau berpesan kepada anak-anaknya, “Sesungguhnya para ilmuwan (ulama) menduduki kekuatan yang kokoh dalam tubuh pemerintah, membuat agung sisi-sisi dan menjadi motivator.
Ketika kamu mendengar salah seorang di antara mereka di negeri lain, datangkan dia kepadamu dan muliakanlah mereka dengan harta.” (Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, pen: Sonif dkk, 264).
Beberapa peristiwa tersebut menunjukkan bahwa di samping pertolongan Allah, kunci kemenangan Muhammad Al-Fatih ialah kerja sama beliau dengan ulama dan rasa hormatnya yang tinggi kepada mereka. Artinya, sinergi antara ulama dan umara di sini benar-benar wujud.
Siapapun generasi yang menjadikan ulama terhormat, dan melibatkan mereka dalam setiap mengambil keputusan penting, sangat berpeluang besar menjadi generasi terhormat dan mendapat kejayaan; sebagaimana Al-Fatih yang mampu mengguncang dunia dengan membebaskan Konstantinopel setelah berabad-abad lamanya.*
Penulis alumnus Al Azhar, Mesir