Oleh: Sholih Hasyim
RAMADHAN dan Idul Fitri telah berlalu, semboga kita mampu menjadi pemenang dalam pertarungan melawan hawa nafsu yang dibelenggu dan syetan yang diikat pada bulan Ramadhan.
Kita telah merasakan sedih berpisah dengan bulan yang penuh rahmat, maghfirah dan pembebasan dari neraka. Banyak peluang-peluang strategis yang tidak mungkin datang berulang.
Potensi yang disimpan di dalam shoum dan qiyam Ramadhan, tidak mudah dan sederhana kita pertahankan secara konsisten pada sebelas bulan berikutnya. Sebab, kita menyadari bahwa tidak sederhana dan mudah melestarikan nilai tarbiyah Ramadhan seorang diri, sepi. Tanpa ada kebersamaan dalam demontrasi ketaatan sebagaimana yang terjadi pada bulan mulia ini.
Kita kehilangan kultur mujahadah (riyadhah), ijtihad, dan kultur tajarrud (all out), tawajjuh, tabattul, yang demikian berkesan di dalam jiwa. Pendidikan yang membuat kita untuk tidak hidup nyaman dan aman, tetapi pendidikan yang mendorong struktur kepribadian kita untuk terus berkembang secara seimbang dan utuh. Fakta historis mengajarkan bahwa pembangunan yang hanya menonjolkan satu aspek dan meminggirkan aspek yang lain, adalah model pembangunan yang timpang. Kita tidak ingin, pasca Ramadhan tidak memberikan kesan yang berarti.
Pada zaman jahiliyah klasik, ada seorang perempuan namanya Ra’ithah. Dia sehari-harinya bekerja merintis dan memimpin sebuah perusahaan kain (konveksi). Membuat, memintal, dan menenun kain. Kebetulan, semua karyawannya adalah karyawati.
Penenun identik dengan pendidik, yang membangun aktor peradaban (muddin, muqimuddin). Awalnya, dia lalui pekerjaannya itu dengan sabar dan keteguhan hati. Melakukan kode etik profesi dan kode etik komitmen. Dia fokus, berorientasi kualitas, bukan kuantitas.
Suatu ketika, datang kondisi berbeda. Pada pagi harinya ia serius menenun kain bersama karyawati yang dipimpinnya, tetapi pada sore harinya kain yang sudah jadi itu diurai kembali selembar demi selembar. Demikian pula besok, lusa dan hari-hari berikutnya. Sejak itu dia tidak mendapatkan apa-apa. Dia tidak menyelesaikan pembuatan sehelai kain pun.
Dalam sastra Arab dikenal مَتَى يَبْلُغُ الْبُنْيَانُ كَمَالَهُ، اِذَا كُنْتَ تَبْنِيْهِ وَالْأَخَرُ يَهْدِمُ “Kapankah kita membangun menuju kesempurnaannya, ketika kita rajin membangun pada satu sisi, tetapi merusak pada aspek yang lain.”
Karena kasus inilah, maka Allah berfirman dalam Surat An Nahl (16) ayat 92.
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِن بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَاثاً تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلاً بَيْنَكُمْ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ
“Dan janganlah kamu laksana seorang perempuan jahiliyah klasik yang mengurai kembali tenunannya setelah menjadi kain yang sempurna.” (QS: An Nahl (16) ayat 92).
Taujih Ilahi diatas memberikan ibrah yang sangat penting bagi kita. Bahwa ada orang yang setelah berbuat baik, kemudian ia rusak sendiri amalnya dari dalam. Bisa saja terjadi, kita semangat/ada good will beribadah pada bulan Ramadhan.
Setelah bulan Syawal kita kehilangan stamina ruhiyah. Inilah yang kita khawatirkan. Kita tidak istiqomah, tidak mudawamah dalam beramal. Demikianlah perumpamaan orang yang membangun, kemudian dia sendiri yang merobohkannya. Orang-orang seperti itu tak ubahnya seperti perempuan yang pernah ada pada zaman jahiliyah tadi. Setelah berhasil membuat kain, ia merobek-robek kembali. Na’udzu billah min dzalik.
Amal yang terbaik adalah yang dilakukan secara berkesinambungan sekalipun sedikit (al-Hadits).
أَحَبٌ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ الَحَالٌّ الْمُرْتَحِلُ
“Sebaik-baik amal bagi Allah adalah yang begitu selesai (sampai di tujuan) segera berangkat lagi.” (HR. Tirmidzi).*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus