MEMANG, al-Qur’an menamai juga kematian dengan musibah (QS. al-Ma’idah: 106), tetapi tidak selalu demikian. Ia menjadi musibah bagi yang sangat mengandalkan jenazah semasa hidupnya. Juga bagi yang mati, bila tidak mempersiapkan diri menghadapinya. Di sini, keberadaannya sebagai musibah adalah akibat ulah dan kesalahan manusia, bukan substansi kematian itu.
Selanjutnya kita dapat melihat juga nikmatnya mati ketika membaca QS. an-Nahl: 70. Di sana dinyatakan: “(Hanya) Allah (sendiri) yang menciptakan kamu (dari tiada kemudian melalui pertemuan sperma dan ovum kamu lahir dan berpotensi tumbuh berkembang), kemudian mewafatkan kamu (dengan bermacam-macam cara dan dalam bilangan usia yang berbeda-beda. Ada yang dimatikan saat kanak-kanak, remaja, dewasa dan dalam keadaan tua, atau ada yang diberi kekuatan lahir dan batin sehingga terpelihara jasmani dan akalnya), dan di antara kamu (ada juga) yang dikembalikan (Allah dengan sangat mudah) kepada umur yang paling lemah (yakni secara berangsur-angsur kembali seperti bayi tak berdaya secara fisik dan psikis, karena otot dan urat nadinya mengendor dan daya kerja sel-selnya menurun), hingga (akhirnya) dia (menjadi pikun) tidak mengetahui (lagi) sesuatu pun yang pernah diketahuinya. (Lalu sesudah itu ia pun akan wafat). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (segala sesuatu, termasuk rahasia ciptaan-Nya) lagi Maha Kuasa (untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya).”
Umur yang paling lemah berarti mencapai usia yang menjadikan hidup tidak berkualitas, dan menjadikan yang bersangkutan tidak merasakan lagi kenikmatan hidup. Bahkan boleh jadi ia jemu, dan orang sekitarnya pun merasa kematian bagi yang bersangkutan lebih baik. Ini berarti kematian adalah nikmat bagi yang bersangkutan, dan bagi siapa yang di sekitarnya.
Rasul Shalallaahu ‘Alahi Wasallam sering kali berdoa kiranya dihindarkan dan mencapai ardzal al-`umur/ umur yang paling lemah. Seorang penyair juga pernah mendendangkan kata-kata bersayap, antara lain dengan menyatakan:
Aku telah bosan menghadapi tuntutan hidup, dan siapa yang hidup delapan puluh tahun, pastilah ia bosan.
Sebelum itu, bertanyalah pada diri sendiri, apa yang akan terjadi bila Tuhan tidak menciptakan kematian. Atau dengan kata lain, tidak menggilirkan generasi demi generasi makhluk untuk menempati pentas bumi ini? Betapapun luasnya bumi, dia akan terasa sempit. Jika tidak seorang pun meninggalkannya, maka kita tidak akan mendapat tempat berdiri, apalagi hunian tempat beristirahat.
Seandainya pun yang dipilih untuk menetap di persada bumi adalah orang-orang tertentu –katakanlah tokoh-tokoh– itu pun sudah cukup untuk menyesaki bumi yang sudah cukup lama tercipta ini.
Karena itu pula Allah berfirman –mengecam kaum musyrik: “Kami tidak menganugerahkan kekekalan bagi seorang manusia sebelummu (wahai Nabi Muhammad), maka jikalau engkau mati, apakah mereka akan kekal?” (QS. al-Anbiya’: 34). Dan karena itu juga di tempat yang lain Allah berfirman: “Sesungguhnya engkau akan mati dan mereka pun akan mati.” (QS. az-Zumar: 30).*/M. Quraish Shihab, seperti tertuang dalam bukunya Perjalanan Menuju Keabadian. [Tulisan selanjutnya]