KELUARGA memiliki dua dimensi: 1) Keluarga sebagai ikatan kekerabatan antara individu. Pernyataan ini merujuk kepada mereka yang memiliki hubungan darah dan pernikahan. 2) Sebagaimana sinonim ‘rumah tangga’, yang dalam makna ini ikatan kekerabatan amat penting, namun yang dikenalkan adalah adanya kesatuhunian dan ekonomi.
Kata keluarga dalam bahasa Arab dikenal dengan al-usroh yang berarti ikatan. Berdasarkan pengertian ini maka dapat dipahami bahwa keluarga atas dasar ikatan yang bersifat ikhtiari (pilihan).
Sedangkan hidup berkeluarga adalah kehidupan bersama dua orang lawan jenis yang bukan muhrim, yang telah mengikatkan diri dengan tali perkawinan beserta anak keturunannya yang dihasilkan dari akibat perkawinan tersebut. Kalau ada dua orang lawan jenis yang bukan muhrim hidup bersama, tetapi tidak diikat dengan akad perkawinan, maka keduanya tidak dapat hidup berkeluarga, sungguh pun mungkin keduanya mempunyai anak.
Ada pun pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Hidup berkeluarga berarti sebuah kehidupan yang mempunyai cita-cita dan harapan, bukan sekadar kebersamaan. Cita-citanya adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta mendapatkan anak keturunan yang saleh dan salehah.
Untuk mencapai cita-cita tersebut banyak hal yang harus dilakukan oleh pasangan suami-isteri. Di antaranya adalah pemahaman arti hidup berkeluarga dalam tataran praktis. Ketika seorang pria dan wanita mengikatkan diri dengan tali perkawinan, sebenarnya keduanya telah masuk dalam kehidupan keluarga. Tetapi secara praktis, pemahaman hidup berkeluarga yang hanya berkumpulnya dua pasangan lawan jenis belum memberikan dampak apa pun terhadap kehidupan kedua pasangan tersebut. Pemahaman seperti ini sebenarnya masih seputar pengertian nikah, karena masih seputar bercampurnya dua orang lawan jenis yang mengikat untuk hidup bersama. Belum berbicara mengenai konsekuensi adanya ikatan perkawinan. Pemahaman hak dan kewajiban inilah yang akan menjadi kunci perekat ikatan perkawinan pasangan tersebut.
Paham tentang hak dan kewajiban berarti memahami dan menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Seorang suami berhak mendapatkan perhatian, kasih sayang, pelayan seksual dan rumah tangga dari sang isteri, demikian juga sang isteri. Hanya saja hak isteri yang tidak dimiliki suami, yaitu hak diberikan nafkah. Kewajiban suami terhadap isterinya adalah memberikan nafkah, mencukupi pakaiannya, dan mempergauli isteri dengan baik lahir dan batin.
Sedangkan kewajiban keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi hak pasangannya. Kewajiban suami memenuhi hak-hak isterinya, demikian juga kewajiban isteri adalah memenuhi kewajiban suaminya.
Hubungan suami dan isteri dalam Al-Qur’an dilukiskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya berikut:
“Mereka itu (para isteri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Berdasarkan ayat di atas, seorang isteri harus bisa memenuhi kewajibannya terhadap sang suami. Demikian juga sang suami harus bisa memenuhi kewajibannya terhadap isteri. Al-Qur’an menggambarkannya dengan ungkapan, “para isteri adalah pakaian kalian (para suami) dan kalian (para suami) adalah pakaian bagi isteri.”
Penggambaran ini sangat luar biasa bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan dalam pemenuhan kewajiban terhadap pasangannya. Tidak boleh ada kesenjangan dalam hubungan antara suami dan isteri. Jangan sampai seorang isteri selalu menuntut haknya kepada suami, tetapi kewajibannya sebagai isteri tidak pernah dipenuhi, demikian sebaliknya.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Menggapai Keluarga Berkualitas dan Sakinah, penulis: Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA)