Hidayatullah.com—Afganistan adalah wilayah di Asia Selatan yang umumya sudah tak asing dengan perang. Namun berbeda pula dengan etnis Wakhi yang tinggal di Koridor Wakhan atau Lembah Wakhan terletak antara Tajikistan dan Pakistan karena mereka bukan saja tidak tahu perang, bahkan tidak kenal dengan Taliban.
Etnis Wakhi nyaman hidup sederhana tanpa modernisasi. Mereka tidak tahu tentang Taliban atau bahwa AS telah menggulingkan mereka.
Koridor Wakhan membentang antara Tajikistan dan Pakistan dan menjadi batas yang memisahkan kedua negara tersebut. Koridor Wakhan dulunya menjadi bagian dari rute perdagangan kuno yang dikenal sebagai Jalur Sutera. Inggris dan Rusia menggambarkan Koridor Wakhan pada peta akhir abad ke-19 untuk menjadi zona penyangga antara India (saat dijajah Inggris) di selatan dan Turkistan (saat itu jajahan Rusia) di utara.
Lembah Wakhan dihuni lebih 12.000 etnis Wakhi yang juga langsung tidak tahu tentang invasi oleh koalisi pimpinan Amerika Serikat di Afghanistan.
Mereka hidup dengan cara sederhana. Beternak dan memerah susu. Seorang fotografer warga Prancis Eric Lafforgue, belum lama berkesempatan menjelajah Lembah Wakhan dan mengabadikan foto-foto yang menakjubkan.
Ia mengatakan sangat senang dan heran bagaimana etnis itu hidup dalam kondisi normal meskipun Afghanistan sedang berperang.
Menurutnya, penduduk di situ terasing dari dunia luar sejak lebih dari 2.000 tahun dan mereka tidak pernah keluar dari daerah pegunungan tersebut.
Koridor Wakhan selama dianggap sebagai daerah paling aman di Afghanistan. Selain itu, pegunungan di Afghanistan dikenal sebagai surga bagi para pendaki sebelum Uni Sovyet melakukan invasi tahun 1979, sebelum datangnya invasi Amerika.
“Bayangkan mereka tidak tahu negara mereka sedang berperang. Mereka hidup dalam kesederhanaan. Ekonomi utama mereka adalah pariwisata. Rata-rata mereka menjual barang perhiasan kepada wisatawan.
“Anak-anak yang tinggal di sini juga tidak banyak pengetahuan tentang dunia luar, mereka tidak tahu tentang pemain sepak bola seperti Lionel Messi atau Ronaldo,” katanya dikutip laman Dailymail.
Lafforgue turut merekam gambar-gambar menarik tentang kehidupan etnis tersebut yang mendapat berbagai reaksi positif tentang keberadaan Lembah Wakhi.

“Pertama saya bepergian ke Khandud, yang terkenal untuk pakaian berwarna-warni perempuannya. Dengan bantuan dari Aga Khan Foundation, perempuan bahkan membuka toko untuk menjual souvenir bagi wisatawan. Kaus kaki, rompi dan sulaman, “ ujar Lafforgue.
Daya tarik wisata utama adalah Rumah Pamiri, yang dikenal sebagai ‘Chid’. Mereka dibangun dari batu dan plester, dan masing-masing mempertahankan fitur tertentu melambangkan aspek spiritual dan tradisional.
Menindaklanjuti itu, pemerintah Afghanistan berencana untuk membuat Koridor Wakhan sebagai pusat pariwisata terutama dari Barat yang menggemari kegiatan penggembaraan.
Untuk mengunjungi desa-desa Suku Wakhi, seseorang harus melalui area kontrol perbatasan sebelum mengemudi di jalan lama yang telah dibangun lebih setengah abad.*