TSAUBAN radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah yang merupakan mantan budak beliau, pernah meriwayatkan satu hadits mengenai kondisi umat Islam di akhir zaman. Waktu itu Tsauban, sebagaimana para sahabat yang lainnya, sedang hadir di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Majelis tempat Rasulullah mendidik dan membina mereka menjadi generasi emas. Generasi yang nantinya dengan suka rela kita kagumi dan kita cintai. Generasi yang seandainya bukan karena shahih-nya mata rantai jalur periwayatan, kita akan menyangka mereka itu hanya dongeng belaka.
“Nyaris..”, kata Rasulullah di tengah para sahabat, dengan wajah bak purnama dan sorot mata penuh cinta kepada umatnya, “.. umat-umat selain kalian, menyerang kalian dari segala penjuru, bagaikan orang-orang yang sedang mengerubuti hidangan yang tersaji di atas nampan…”
Saat itu, para sahabat pun tercengang menyimpan seribu tanya, ada apa? Kenapa? Dan berbagai pertanyaan lainnya. Tak tahan dengan ganjalan di hati, salah seorang di antara mereka pun memberanikan diri bertanya, “Yaa Rasulallah…a-min qillatin binaa yaumaidzin…? Wahai Rasulullah, apakah jumlah kami sedikit pada hari itu?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tidak pernah bicara berdasarkan hawa nafsunya, menjawab dengan bimbingan wahyu, “Bal antum yaumaidzin katsiir…(Tidak! Justru jumlah kalian pada hari itu banyak). Seolah Rasulullah menegaskan, jumlah kalian banyak! Kalian bukan minoritas!
Akan tetapi, Rasulullah melanjutkan penjelasan tentang rambu-rambu akhir zaman. “..kalian seperti buih air bah..”
Para sahabat masih terdiam khusyuk. Kata Abu Sa’id Al Khudhri, ketika bermajelis bersama Rasulullah, kala itu seperti ada burung di atas kepala mereka. Khidmat, konsentrasi penuh.
Rasululullah melanjutkan lagi, “..dan sungguh, Allah akan mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh kalian, dan sebaliknya Allah campakkan ‘al wahn’ ke dalam hati kalian”.
Para sahabat masih terdiam. Tak terbayang di benak mereka, bagaimana hal itu bisa terjadi? Padahal mereka sama-sama faham bahwa Rasulullah memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi yang lain. Dan di antara keistimewaan itu adalah, kata beliau, “nushirtu bir ru’bi mashiirata syahrin” (Pertolongan dari Allah berupa rasa takut yang ditanamkan ke dalam dada musuh sejauh satu bulan perjalanan). Apakah pertolongan itu dicabut dari umat ini?
Seperti ibu hamil
Para sahabat bertanya pada Rasulullah maksud “al wahn”. Bukan karena mereka baru pertama kali dengar. Dan bukan karena istilah ini asing. Tidak. Bahkan kata “al wahn” juga telah digunakan Allah dalam Al Qur’an. Al wahn artinya adalah kelemahan. Para sahabat tahu akan hal ini. Allah Subhanahu Wata’ala menggambarkan kondisi ibu hamil dalam Al Qur’an menggunakan kata, “wahnan ‘alaa wahnin” (Lemah yang bertambah lemah, semakin hari semakin lemah). Itulah al wahn yang dirasakan setiap ibu hamil.
Di ayat yang lain, Allah juga sebutkan kata “al wahn” ini dalam bentuk kata kerja. Allah Subhanahu Wata’ala mengisahkan tentang keluhan Nabi Zakariya; “…Rabbi innii wahanal ‘azhmu minnii” (Ya Rabb, sesungguhnya tulang-tulangku sudah melemah). Al wahn di sini digunakan Allah Subhanahu Wata’ala untuk membahasakan kelemahan yang dirasakan setiap orang yang menjalani usia senja. Kelemahan pada kerangka penyangga kekuatan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tapi mengapa “Al Wahn “? Apa maksud Al Wahn sebagaimana diucapkan Nabi pada para Sahabat?
Kalau yang dimaksud adalah kelemahan, kelemahan seperti apa? Apa sebabnya? Apakah yang dimaksud Nabi umat ini akan mengalami kelemahan sebagaimana ibu hamil yang semakin hari semakin lemah? Atau umat ini lemah seperti lemahnya orang yang sudah tua-renta (sepuh)? Separah itukah kondisi umat?
“Wamal wahn yaa Rasulallah? Wahai Rasulullah…”, salah seorang sahabat memberanikan diri bertanya.
“Hubbud dunya, wa karahiyatul maut” (Wahn itu, cinta dunia dan takut pada kematian), jawab Rasulullah.*/Murtadha Ibawi, anggota “PENA” Yogyakarta (BERSAMBUNG)