SEBAGAI nama bulan, Ramadhan memang hanya ada satu. Namun, untuk kesadaran nilai, Ramadhan akan senantiasa relevan spiritnya untuk ditularkan pada bulan-bulan lainnya. Bukankah amalan seperti puasa, shalat malam, sedekah, iktikaf dan membaca al-Qur`an –dalam porsi tertentu- juga dipraktikkan pada bulan-bulan yang lain? Terlebih, jika puasa di bulan Ramadhan adalah sarana membentuk insan takwa, maka semakin mengukuhkan bahwa nilai-nilai di dalamnya tak kan pernah lekang sepanjang hayat.
Terkait masalah ini, ada cerita menarik yang menunjukkan bahwa Ramadhan menjadi kesadaran nilai untuk bulan-bulan lainnya.
Suatu hari, Muhammad bin Abi al-Faraj hendak mencari pelayan untuk membantunya menyiapkan makanan pada bulan Ramadhan. Untuk memenuhi keinginannya, ia beranjak ke pasar. Sesampainya di lokasi, ia menemukan seorang budak wanita yang berkulit kuning, berbadan kurus, dan berkulit kering. Lantarahn kasihan melihat kondisinya, akhirnya pilihan pun jatuh kepada budak wanita ini. Kemudian, dibawalah ia ke rumah Muhammad.
Sesampainya di rumah, Muhammad memberi instruksi, “Bawalah keranjang belanja ini, ikutlah bersamaku ke pasar untuk menyiapkan kebutuhan Ramadhan.” Rupanya perintah Ibnu Abu Al-Faraj membuat budak wanita ini heran sembari berkomentar, “Wahai tuanku! Dulu aku bersama tuan yang semua harinya adalah Ramadhan.”
Jawaban dahsyat ini membuat Muhammad memberi penilaian khusus bahwa perempuan ini adalah bagian dari wanita salehah.
Perkiraannya terbukti. Selama bersama Muhammad di bulan Ramadhan, wanita tersebut menghidupkan malam-malamnya untuk qiyâmul lail (shalat malam) sepanjang 30 hari. Saat malam Idul Fitri tiba, Muhammad mengajaknya, “Ayo ikut aku pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan Idul Fitri.” Ia menjawab dengan pertanyaan balik, “Memang kebutuhan apa yang hendak kita beli untuk Idul Fitri? Kebutuhan orang awam atau orang khusus (istimewa)?”.
Mendengar pertanyaan demikian, Muhammad mempersilakannya memberi penjelasan satu persatu mengenai kebutuhan dua tipikal tersebut. “Tuanku,” jawabnya dengan mantap, “kebutuhan orang awam pada umumnya adalah makanan seperti lazimnya terjadi pada Idul Fitri. Adapun kebutuhan orang istimewa pada Idul Fitri ialah menjauh dari orang, ia lebih memilih untuk menyendiri, meluangkan waktu untuk berkhidmat kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan ketaatan serta merendahkan diri sebagai hamba-Nya.”
Seketika itu juga Muhammad pun menimpali, “Aku ingin memenuhi kebutuhan makan.” Hamba sahaya cerdas ini berbalik tanya, “Makanan apa yang Anda maksud? Makanan jasad atau makanan hati?” Seperti semula, Muhammad memintanya agar menjelaskan karakteristik masing-masing makanan.
“Adapun makanan jasad,” jawabnya, “adalah kebutuhan makanan pokok yang biasa dibutuhkan orang pada umumnya. Sedangkan makanan hati adalah dengan meninggalkan dosa, memperbaiki kesalahan, bersenang-senang menikmati, menyaksikan yang dicintai, rida dengan hasil yang diperoleh,” selain itu menurut hamba yang cerdas ini, “kebutuhan-kebutuhan hati adalah khusyuk dan takwa, meninggalkan kesombongan dan propaganda, serta kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bertawakal kepada-Nya dalam hal rahasia ataupun ketika berbisik-bisik dengan orang, kemudian shalat dalam keadaan khusyuk dan tunduk. Ketika shalat belum usai, ajal tiba menjemputnya, ia pun mati dalam rahmat Allah.” (Hâni al-Hâj, Alfu Qhishshah wa Qishshah min Qashashi al-Shâlihîn wa al-Shâlihât wa Nawâdiru al-Zâhidîn wa al-Zâhidât, 452).
Kisah singkat dari hamba sahaya cerdas ini stidaknya memberikan beberapa pelajaran berharga.
Pertama, Ramadhan sebagai kesadaran nilai yang bisa diterapkan pada bulan-bulan lainnya. Dengan demikian, ibadah tidak menunggu Ramadhan dan ia tidak sekadar menjadi tradisi tahunan.
Kedua, nilai utama manusia adalah takwa bukan status dan rupa.
Ketiga, konsisten beramal shaleh baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan.
Keempat, sebagaimana Ramadhan, Idul Fitri juga mengandung kesadaran nilai yang bukan sekadar memuaskan kebutuhan fisik tapi lebih tinggi dari itu adalah kebutuhan spiritual yang mendekatkan hamba kepada Allah.
Kelima, orang yang sukses menggapai fitri adalah mereka yang bisa memuaskan kebutuhan hati. Wallâhu a’lam.*/Mahmud Budi Setiawan