SEBAGIAN besar anggota DPR adalah aktivis partai politik. Kebiasaan mereka memperebutkan kekuasaan dalam kongres melalui perubahan ‘tata tertib’ (tatib) kini diterapkan dalam revisi UU Pemilu. Modusnya, mengubah aturan untuk menguntungkan kelompoknya.
Tata tertib berkongres akan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan seorang kandidat (ketua umum). Misalnya ketentuan mengenai status keanggotaan seorang kandidat, yang dapat ditarik diulur. Seorang calon potensial yang kebetulan baru tiga tahun menjadi anggota, akan terganjal bila aturannya diulur menjadi minimal 4 tahun. Ketentuan karet seperti ini dapat diperluas menyangkut usia, pendidikan, kepengurusan, bahkan kadang hingga status perkawinan, yang sebenarnya tidak ada kaitan langsung dengan kapasitas dan kapabilitas seseorang.
Untuk dapat meloloskan aturan dalam tata tertib, diperlukan alasan-alasan pembenar yang harus nampak logis sesuai situasi. Misalnya, seorang calon ketua umum diharuskan pernah menjadi pengurus di tingkat pusat selama 2 periode. Pada saat kondisi partai terseok dililit kasus kader-kader baru, usulan ini mendapatkan momentum, dan mungkin saja disepakati. Padahal, di balik itu ada agenda dari kandidat senior untuk menggusur pesaing muda tanpa pertarungan.
Persaingan menuju calon presiden Indonesia juga pernah diwarnai perdebatan ’tata tertib’ ketika hendak diloloskan ketentuan calon presiden harus bergelar sarjana. Banyak sekali alasan untuk mendukung usulan ini, mulai dari perlunya kualitas SDM hingga citra di dunia internasional. Tetapi ujungnya hanyalah untuk menjegal Megawati sebagai salah satu capres potensial saat itu.
Selalu ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari sebuah aturan main. Tetapi yang paling celaka adalah mereka yang tidak terlibat dalam pembuatan aturan, tetapi harus ikut dalam pertandingan. Mereka akan dipersulit sejak mendaftar, memenuhi persyaratan, melaksanakan pertandingan, menghitung skor, hingga menggugat hasil bila tidak puas. Nasib mereka seperti Iran yang dihambat untuk memasuki komunitas negara nuklir, justru oleh anggota komunitas itu sendiri.
Memainkan ‘Tatib’ Pemilu
Bagaimanapun, DPR tetaplah mencerminkan partai politik, tempat mereka berasal. Kini DPR berposisi sebagai incumbent dalam pemilu yang akan berhadapan dengan incumbent lain maupun peserta ‘eksternal’. Maka DPR memainkan posisinya dengan membuat tatib yang menyulitkan pesaing.
Tatib pertama yang telah memakan korban adalah aturan verifikasi partai politik melalui revisi UU Parpol No 2/2008. Setelah dibatalkan keberlakuannya terhadap parpol lama oleh Mahkamah Konstitusi pada April 2011, pasal verifikasi tetap berhasil menggagalkan 12 parpol baru mendapatkan badan hukum. Setidaknya parpol-parpol di DPR telah berhasil mengurangi 12 calon pesaing.
Tatib berikutnya yang dimainkan adalah revisi Undang-undang penyelenggara pemilu, dengan membolehkan pengurus parpol masuk ke KPU dan Bawaslu maupun KPUD dan Panwaslu. Lagi-lagi aturan ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Permainan tatib yang paling seru pembahasannya adalah revisi UU Pemilu, yang telah berjalan lebih dari setahun. Bila melihat item-item yang akan direvisi, nampak semangat yang sama dari DPR, yaitu mengurangi pesaing melalui aturan main dan mendapatkan keuntungan bagi kelompoknya. Indikasi-indikasi berikut akan membuktikannya.
Pertama, ketentuan peserta pemilu. Pasal 8 ayat 2 dari UU Pemilu No 10/2008 menyatakan, peserta pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta pemilu berikutnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari perubahan sistem yang mengganti electoral threshold (ET, parpol yang tak lolos dilarang ikut pemilu tapi boleh mendudukkan wakilnya di parlemen) dengan parliamentary threshold (PT, parpol yang tak lolos dilarang mendudukkan wakil di parlemen, tapi boleh terus ikut pemilu).
Kini DPR mengubah ayat 2 itu menjadi, ‘parpol peserta pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara ditetapkan sebagai peserta pemilu berikutnya,’ dan menambahkan ayat 3, ‘parpol lainnya dapat mengikuti pemilu bila memenuhi persyaratan,’ sesuai ketentuan ayat 1 dari pasal 8. Jadi, DPR meloloskan dirinya sendiri menjadi peserta pemilu, tetapi mengharuskan parpol lain mengikuti verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum. Logika ET dan PT dilabrak begitu saja tanpa alasan, bahkan menjadi kabur karena digunakan bersamaan.
Oleh karena dirinya bukan obyek verifikasi, DPR menetapkan persyaratan verifikasi seberat-beratnya, termasuk dengan mewajibkan parpol memiliki anggota ber-KTA 1/1000 dari jumlah penduduk di 75% Kabupaten/Kota yang ada di setiap provinsi. Dengan cara ini DPR ingin membatasi peserta pemilu hanya 9 parpol saja, yang lain gagal memenuhi persyaratan.
Kedua, di antara parpol di parlemen juga terjadi persaingan. Dengan motif yang sama, sebagian parpol ingin menggusur parpol lain melalui tata tertib. Maka diubahlah beberapa aturan yang kemudian mereka sebut sendiri sebagai isu-isu krusial, antara lain metode konversi suara ke kursi, jumlah kursi per daerah pemilihan, dan besaran angka threshold. Dengan cara ini, dari skenario 9 peserta pemilu 2014, diproyeksikan akan ada 5 atau 6 parpol yang gagal mendudukkan wakilnya di parlemen. Walhasil, DPR 2014-2019 hanya akan diwakili 3 atau maksimal 4 partai politik.
Dengan mengatur tatib seperti ini, parpol yang sekarang mengalami kejatuhan pamor tidak khawatir kehilangan kursi. Survey boleh menyebutkan Golkar, PDIP, dan Demokrat hanya memperoleh antara 9-13% suara, tetapi masih lolos threshold 5%. Sementara parpol lain diharapkan tidak lolos threshold, atau tidak mendapatkan kursi karena metode konversi dan jatah kursi per daerah pemilihan. Maka seluruh kursi DPR tetap akan diserahkan kepada ketiganya. Bencana apa yang akan didapat negeri ini, bila 3 parpol dengan total perolehan hanya 30% (itupun dihitung hanya dari suara sah yang biasanya berkisar 70% dari pemiliki hak suara atau setara 21% pemilih) akan menguasai 100% kursi DPR? Berarti negara ini akan dikuasai oleh sekelompok minoritas dari politisi, yang celakanya telanjur diberi kewenangan begitu besar oleh undang-undang.
Kecurigaan terhadap adanya agenda tersembunyi sulit dipungkiri bila melihat DPR hingga saat ini tidak bersedia memasukkan klausul-klausul solutif terhadap sistem pemilu. Solusi seperti konfederasi, stembus accord, dan ambang batas fraksi (fractional threshold) tidak dilirik, padahal secara substansial ketiganya memenuhi keinginan penyederhanaan tanpa mengabaikan kemajemukan bangsa.
Selayaknya DPR berpikir ulang sebelum menjerumuskan bangsa kepada kekacauan dan pertikaian. Tetapi itu hanya bila masih ada anggota DPR yang punya akal sehat dan tidak mengidap penyakit ‘lupa, tidak pernah, dan tidak tahu’.
Jakarta, 22 Februari 2012
BM Wibowo
Sekretaris Jenderal DPP Partai Bulang Bintang
Email: [email protected]