MASYARAKAT Jepang yang sekuler dikenal sopan, berdisiplin tinggi, taat pada aturan, dan pekerja keras. Apakah yang mendorong mereka seperti itu, sementara moral dilarang diajarkan di sekolah-sekolah?
Tentu saja amat dangkal jika menyimpulkan bahwa agama atau moralitas tidak dibutuhkan dalam kehidupan, apalagi sebelum melihat lebih mendalam pada kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang.
Sebagaimana komentar Profesor Ayami Nakaya dari Universitas Hiroshima yang mendudukkan kembali obyektivitas penilaian orang asing kepada Jepang, “Orang baiknya ada, orang buruknya pun ada.” Menarik untuk dipelajari apakah yang menyebabkan pendidikan moral Jepang “sukses” membentuk pribadi generasi mudanya.
Moral Masuk Sekolah, Agama Tidak
Meski mengaku sekuler, landasan moral di sekolah-sekolah Jepang sedikit banyak diambil dari intisari agama dan kepercayaan lokal, utamanya Shinto dan Buddha, serta menambahkannya dengan etika global seperti HAM (Hak Asasi Manusia). Cara pengajarannya tidak hanya melalui satu mata pelajaran tertentu, seperti doutoku (moral) melainkan terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran, khususnya dalam kegiatan siswa, seperti piket atau lomba antar kelas.
Secara akademik, pendidikan moral di sekolah Jepang disebut “area” (ryouiki) bukan “pelajaran”, dengan perbedaan pada materinya yang tidak disusun oleh pemerintah dan tidak adanya penilaian yang mengharuskan siswa lulus mencapai nilai tertentu.
Pendekatan yang dilakukan oleh sekolah bukanlah doktrinasi, atau mengajarkan nilai-nilai yang harus dihafal, dipahami, untuk dapat diamalkan oleh siswa, melainkan sebaliknya, guru menggali nilai tersebut dari dalam diri siswa. Pada satu jam pelajaran moral yang disajikan hanya di tingkat SD dan SMP, siswa diajak untuk membicarakan berbagai isu moral dan menuangkan pendapatnya untuk menyikapi isu tersebut. “Kesepakatan” yang dihasilkan dalam area tersebut danggap sebagai patokan moral yang harus dijalankan di luar kelas.
Dalam suatu kasus, siswa diajak berdiskusi mengenai ijime (bullying/kekerasan) yang menjadi masalah besar di sekolah-sekolah Jepang hingga saat ini. Di awal diskusi siswa mengungkapkan perasaan tidak sukanya menjadi korban ijime, namun guru yang berperan sebagai mediator mampu mengarahkan siswa untuk mengakui bahwa tiap mereka pun pernah menjadi pelakunya, siswa kadang diminta menuangkan pikiran dan perasaannya dalam tulisan mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan demi memperbaiki masalah, baik yang ditimbulkan orang lain maupun dirinya sendiri.
Melalui diskusi interaktif itu siswa membangun kerangka berpikir tentang pentingnya melaksanakan nilai-nilai moral yang telah disepakati oleh kelas. Kesadaran diri inilah yang menjadi jawaban dari pertanyaan di awal tulisan ini.
Tidak hanya melalui kelas moral, dalam pelajaran seikatsu-ka (living environmental study) dan sougou gakusyuu jikan (integrated course) guru mengajak siswa untuk mengaplikasikan pengetahuannya dengan menggunakan hati dan pikirannya untuk berempati pada hal-hal di luar dirinya.
Kelemahan Pendidikan Moral Jepang
Pendekatan konstruktivis (bottom-up) untuk pendidikan moral, khususnya di Jepang, akan mengalami kendala pada tingkat yang lebih tinggi, seperti di SMA dan Universitas. Ketiadaan patokan baik-buruk atau benar-salah membuat isu-isu yang dibahas di kelas berhenti pada nilai-nilai yang dianggap universal seperti kejujuran, kerja keras, menghormati hak orang lain, disiplin, rasa malu ketika tidak memenuhi kewajiban, dan sebagainya (bisa dibaca Hifizah Nur, 2009) atau dengan kata lain moralitas orang Jepang bersifat sosial.
Sedangkan pada isu-isu yang rumit, seperti pornografi, transgender, pernikahan sejenis, seks bebas, hingga nasionalisme masyarakat Jepang agaknya dipengaruhi kekuatan media massa yang dominan berkiblat ke Barat yang cenderung individualis dan liberal.
Contoh kaburnya patokan moral dalam Pasal 175 KUHP Jepang adalah larangan untuk menampilkan atau menjual cerita atau gambar cabul/porno, dan terdapat beberapa kasus penjatuhan sanksi kepada kartunis. Namun dalam kehidupan biasa tidak ada orang yang kesulitan dalam mengakses buku-buku dewasa yang dipajang leluasa di minimarket. Hal ini bukan dikarenakan pihak yang berwajib tidak tegas memberikan sanksi namun karena ukuran pornografinya tidak jelas.
Ketiadaan pegangan Jepang dalam menggali nilai moral ini dipertanyakan banyak pihak saat Menteri Pendidikan Nasional Jepang pada tahun 2014 ini merevisi materi kurikulumnya, khususnya di tingkat SD maupun SMP. Dengan memasukkannya menjadi pelajaran resmi berarti akan ada buku pegangan bagi siswa dan yang lebih penting lagi akan ada ujian.
Ketakutan akan pelajaran moral didasarkan pada pengalaman Jepang pada perang dunia, dengan kekalahannya oleh Amerika Serikat pelajaran ini “diturunkan derajatnya” menjadi pelajaran informal mulai tahun 1958 karena dianggap menjadi bibit tumbuhnya rasisme dan taklid buta kepada sang kaisar. Dikhawatirkan buku pegangan siswa nantinya akan disusupi pandangan negatif tertentu dari penguasa.
Di lain pihak, Mendiknas Jepang berharap materi pelajaran Moral akan membantu menjadikan siswa mandiri dalam menemukan nilai moralitas dan nilai sosial mereka sendiri menuju kehidupan yang lebih baik. Salah satu alasan diangkatnya pelajaran ini menjadi resmi ialah kesenjangan antarsekolah dan guru dalam mengajarkannya kepada siswa.
Jepang tengah mengalami degradasi moral di jantungnya, namun masih berhasil mempertahankan nilai sosialnya di masyarakat. Hal ini tidak lain berkat kultur tepa selira, menjaga pandangan komunitas/masyarakat sekitar agar tidak tampil mencolok yang kerap dianggap mengganggu. Hanya saja pada akhirnya moralitas tidak bisa sekedar nilai yang disepakati oleh banyak orang, mengingat pada batas tertentu pandangan seseorang akan terikat dengan kepentingan pribadinya.
Meskipun hanya membangun moralitas yang bersifat superficial (permukaan) pengamalan yang kompak membuat orang asing terkesan pada dampaknya. Seharusnya ummat Islam yang memiliki konsep yang menyeluruh dan sempurna perlu mengambil hikmah dari kekompakan mereka.*/Gilig Pradhana, peserta pelatihan guru di Universitas Hiroshima (2014) dan Universitas Pendidikan Guru Hyogo (2010). Pernah menjadi Kepala SMK Al-Furqan Jember pada tahun 2011-2013