Hidayatullah.com– Majelis Legislatif (Lok Sabha) India telah mensahkan Rancangan Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan (CAB) kontroversial, yang akan memberikan kewarganegaraan kepada minoritas agama dari negara-negara tetangga, yang para pakar hukum mengatakan hal itu melanggar konstitusi sekuler negara tersebut lapor Al Jazeera pada Selasa (10/12/2019).
RUU itu, yang berupaya mengamendemen UU kewarganegaraan 1955, bertujuan untuk memberikan kewarganegaraan kepada minoritas-minoritas yang “dipersekusi” – Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsis dan Kristen – dari Bangladesh, Afghanistan dan Pakistan, tetapi tidak untuk Islam.
Setelah disetujui oleh 311-80 oleh Majelis Legislatif pada Senin, RUU akan diproses ke Parlemen India, di mana partai nasionalis Hindu yang berkuasa Partai Bharatiya Janata (BJP) tidak memiliki mayoritas.
Partai-partai oposisi mengatakan RUU itu diskriminatif karena memisahkan umat Islam dari agama minoritas di negara yang secara resmi sekuler berpenduduk 1,3 miliar orang. Umat Islam membentuk hampir 15% dari populasi.
Para pengkritik menunjuk langkah itu merupakan bagian dari agenda supremasi Hindu yang didorong pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi sejak ia berkuasa hampir enam tahun lalu.
‘Strategi untuk memecah belah India’
Sanjay Jha, juru bicara untuk partai oposisi utama Kongres, mengatakan pada Al Jazeera bahwa CAB adalah “bagian dari strategi politik BJP yang lebih dalam memecah belah India”.
“Karena adanya elemen eksklusif agama dalam CAB,” kata dia. “Model bisnis politik BJP adalah untuk menjaga India pada titik gejolak yang permanen, meningkatkan temperatur tinggi komunal selama pemilihan umum.”
Bulan lalu, Menteri Dalam Negeri Amit Shah, orang kepercayaan Modi, mengumumkan bahwa negara itu akan mulai pelaksanaan penghitungan semua warga negaranya untuk menyingkirkan imigran tanpa dokumen dari negara-negara tetangga.
Langkah yang sama yang disebut Daftar Warga Nasional (NRC) dilakukan pada Agustus di negara bagian Assam di mana hampir dua juta orang tidak dimasukkan dalam daftar warga negara.
Di masa lalu Shah menyebut imigran Bangladesh sebagai “rayap” dan “penyusup” dan ancaman bagi keamanan nasional.
Partainya telah dengan keras menentang kedatangan pengungsi Rohingya dan mengancam akan mendeportasi mereka ke Myanmar meskipun minoritas Muslim itu menghadapi pembersihan etnis di tanah kelahiran mereka.
Baca: Parlemen India Godok RUU Kewarganegaran Berdasarkan Agama, tapi Tak Lindungi Muslim
Apa itu RUU Amendemen Kewarganegaraan?
RUU Amendemen Kewarganegaraan (CAB), pertama kali diperkenalkan di Majelis Legislatif pada Juli 2016, berupaya untuk mengubah UU Kewarganegaraan 1955 dengan menjadikan agama sebagai dasar kewarganegaraan. Undang-undang sebelumnya tidak menjadikan agama sebagai kriteria kelayakan untuk menjadi warga negara.
RUU tersebut disahkan di Lok Sabha pada Januari tahun ini, tetapi tidak diproses ke Parlemen India, menyusul protes di negara-negara bagian timur laut dan penentangan dari oposisi.
RUU baru yang disahkan oleh Majelis Legislatif pada minggu lalu, membuat beberapa pengecualian untuk negara-negara bagian timur laut, yang telah memprotes langkah itu, mengatakan itu akan mendorong puluhan ribu orang Hindu dari Bangladesh untuk bermigrasi ke India.
Sesuai RUU baru, imigran tidak berdokumen harus telah tinggal di India selama satu tahun terakhir dan setidaknya selama total enam tahun untuk memenuhi syarat kewarganegaraan sementara UU 1955 menetapkan 12 tahun waktu tinggal sebagai kualifikasi.
‘RUU Diskriminatif’
Kritik utama dari RUU adalah bahwa itu mencegah Muslim dari mendapatkan kewarganegaraan, mirip dengan larangan Muslim Presiden AS Donald Trump di mana Muslim dari beberapa negara dilarang mencari suaka.
Para pakar hukum berpendapat bahwa RUU itu melanggar Pasal 14 dari konstitusi, yang menjamin hak kesetaraan.
Faizan Mustafa, seorang pakar hukum konstitusi, menyebut RUU itu “sangat regresif” dan pelanggaran terhadap konstitusi.
“Kami tidak memiliki kewarganegaraan berdasarkan agama,” kata Mustafa, wakil rektor Universitas Hukum NALSAR di Hyderabad.
“Konstitusi kami melarang diskriminasi apapun berdasarkan agama. Dengan membedakan imigran ilegal berdasarkan agama, undang-undang yang diusulkan melanggar struktur dasar konstitusi India,” dia mengatakan pada Al Jazeera.
“Jika pemerintah India, melalui RUU ini, ingin memberikan kewarganegaraan kepada minoritas yang ditindas di negara-negara tetangga, bagaimana bisa itu mengecualikan Rohingya Myanmar yang jauh lebih tertindas daripada kelompok manapun di lingkungan,” katanya.
“Demikian juga, bagaimana kita bisa mengecualikan Ahmadiyah dan Syiah dari Pakistan dan Bangladesh dan Hazara dari Afghanistan.”
Oposisi di Timur Laut
Sebagian besar orang-orang dan organisasi di timur laut telah menentang RUU tersebut, mengatakan itu akan membatalkan Perjanjian Assam tahun 1985, yang ditetapkan pada 24 Maret, 1971, sebagai batas waktu untuk deportasi semua imigran gelap terlepas dari agama.
RUU ini telah menetapkan batas tanggal 31 Desember, 2014.
Mendagri Shah telah meyakinkan orang-orang di timur laut, rumah bagi sebagian besar populasi suku – akan dibebaskan dari urusan RUU, namun gagal meredakan kekhawatiran mereka.
“Orang-orang di timur laut khawatir dengan RUU itu karena mereka merasa itu akan mengubah komposisi demografis negara bagian mereka,” Sanjoy Hazarika, direktur Inisiatif Hak Asasi Manusia Commonwealth, mengatakan pada Al Jazeera.
NRC
Pada 31 Agustus, daftar final NRC – pelaksanaan birokrasi kewarganegaraan yang dimonitori Pengadilan Tinggi – mengecualikan hampir dua juta orang dari daftar kewarganegaraan finalnya di Assam.
Proses itu, yang dimaksudkan untuk mengecualikan imigran gelap Bangladesh, menyaksikan banyak warga negara asli India yang dikecualikan.
BJP menolak hasil dari proses di Assam karena bagian orang Hindu yang dikecualikan cukup besar. Belum ada jumlah resmi yang dirilis.
“Motif di balik CAB adalah untuk melegitimasi kewarganegaraan semua non-Muslim yang dapat dinyatakan sebagai imigran gelap sesuai NRC,” klaim Mustafa.
Pemerintah, meskipun begitu, menyatakan bahwa RUU itu bertujuan untuk memberikan kewarganegaraan kepada minoritas yang menghadapi persekusi agama di negara-negara mayoritas Islam.
“”Argumen bahwa RUU ini diskriminatif tidak dapat diterapkan karena masalahnya bukan tentang warga negara India,” kata juru bicara BJP Nalin Kohli kepada Al Jazeera. “RUU itu untuk komunitas minoritas Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen yang karena partisi tidak dapat datang ke India dan mengalami penganiayaan di negara mereka sendiri.”
“Mengenai Muslim, ada negara yang dibentuk khusus untuk mereka,” katanya.
Ketika ditanya tentang pengikut Ahmadiyah dan Rohingya yang dianiaya lainnya, Nalin Kohli mengatakan: “India tidak ingin dibanjiri oleh mereka yang sudah menjadi warga negara tetangga.”* Nashirul Haq AR