Sambungan artikel PERTAMA
Dalam surat Wazir juga terdapat perminataan mengirimkan dokter ke berbagai daerah terpencil yang belum ada dokternya. “Aku juga khawatir dengan penduduk desa, diantara mereka pasti ada yang terserang penyakit, di sana tidak ada dokter”. Dokter tugas tersebut diminta tinggal beberapa waktu tertentu hingga digantikan oleh dokter yang lain.
Ada pula yang bertugas di ruang pengobatan Masjid. Sejarawan al-Maqrizy menceritakan, biasanya dalam setiap jum`at mereka menunggu para jama`ah yang butuh untuk pengobatan di Masjid Mesir.
Sebuah kisah menarik tentang seorang pasien palsu. Melihat kualitas pelayanan dan keahlian beberapa dokter di ‘Bîmâristân’ an-Nuri, didirikan oleh Sulthan Malik Adil Nuruddin tahun 549 H, ada orang asing pura-pura berobat dan minta diopname. Setelah diperiksa denyut jantungnya, para dokter tahu kalau dia hanya berpura-pura dan ingin menguji mereka. Resep makanan lezat pun dibuatkan. Dia pun mendapatkan perawatan sebaimana pasien lain. genap tiga hari, dokter berkata kepadanya “menjamu tamu bagi kami orang Islam adalah tiha hari”. Pasien palsu itupun tahun malu penyamaranya diketahui.
Fakultas Kedokteran
Selain sebagai rumah berobobat, ‘Bîmâristân’ berfungsi sebagai sekolah kedokteran. Ada ruangan khusus yang digunakan oleh para dokter untuk kegiatan belajar mengajar. Bukan hanya belajar, mereka juga melihat dokter senior bagaiamana cara menangani pasien. Seabagaimana ungkap Ibn Abi Ushaibiyah, salah seroang dokter di ‘Bîmâristân’ an-Nuri Damaskus yang dikutip Dr. Mushthafa As-Siba`i: “Setelah aku melihat Hakim Muhadzzib ad-Din dan Hakim Imran mengobati pasien rawat inap di ‘Bîmâristân’, aku duduk bersama Syiah Radli ad-Din ar-Rahby, aku mencermati bagaimana dia mendiagnosa penyakit, berbagai anailisa beriktut cara mengobatinya. Aku juga berdiskusi tetang berbagai penyakit dan cara menyembuhkanya”
Para dokter dalam Islam telah melahirkan berbagai karya. Berikut akan disebutkan sebagian kecil saja. ‘al-Qanun fi at-Thib’ Buku ini menjadi buku induk di eropa hingga abad 18. Komentar-komentar manuskrip Galen tentang kesehatan ‘De Compositione Medicamentorum Secundum Locos Libri” oleh Hunain Bin Ishak dalam “al-Maqalat”. “al-Mahish” Abu Bakar ar-Razy diantara pembahsanya yang menerangkan struktur urine. “al-Hawi” Abu Bakar ar-Razy, sebagaimana yang ditulis dalam muqaddimah “dinamakan al-Hawi karena memuat keterangan tabib-tabib kuno tentang seluk beluk penyakit dan cara mengobatinya”. “Talkhis Kitab Hilah al-Bara” Abu Musa Bin AbdullaH al-Qurthubi, merupakan buku ringkasan karya Galen “Fih al-Fawaid” Ali Ibn Ridlwn.
Analisa Perbandingan
Kondisi rumah sakit eropa pada masa ‘dark ages’ sangat memprihatinkan. Max Turdeau dan Tenon menggambarkan rumah sakit Atutille Dieux Paris sebagai dikutip Dr. Mushthafa As-Siba`i: “Serambi-serambinya pengap, tidak berventilasi. Ada sekitar 800 pasien tidur terlentang, bertindihan, anak-anak kecil berdampingan dengan orang tua. Perempuan berbau dengan laki-laki. Perempuan kritis mau melahirkan disamping anak-aak terserang ‘typhus’. Pasien ‘korengen’ menggaruk nanah di kulit dan menetes di selimut. Kasur-kasur berbau dan menjadi sarang serangga. Sehingga perawat yang masuh menutup hidugnya dengan bunga karang bercuka di hidung mereka”. Inilah gambaran singkatnya.
Para dokter Eropa pun kurang mengetahui tekhnik pengobatan. Laporan Usamah bin Munqidz dalam Kitab “al-I`tibar” bisa dijadikan acuan. Penguasa al-Manaitaharah meminta mengirimkan dokter bernama Tsabit untuk mengobati beberapa tentara yang terkena bisul. Tsabit hanya memberikan air hangat pada prajurit hingga bisu pecah. Di satu sisi Tsabit heran melihat dokter tentara salib, dia berkata kepada pasien lain “mana yang kau pilih, hidup dengan satu kaki atau mati dengan dua kaki ?”. Prajurit lain menjawab “hidup dengan satu kaki”. Akhirnya dokter itu menyuruh memotong kakinya. Darah mengalir deras pada tebasan pertama. Karena belum putus, patas di tebas sekali lagi. Akhirnya prajurit bisulan itu mati dengan kaki terputus. Inilah gambaran rumah sakit dan dokter Barat waktu itu.
Mendahului Barat
Walhasil, kecanggihan kedokteran Islam mendahului Barat. Sistem pengobatan dan pelayanan dilaksanakan secara manusiawi berdasarkan bimbingan Ilahi. Hal ini karena Islam sangat memperhatikan kesehatan. Penggalan hadits Nabi ‘perhatikan masa sehatmu sebelum masa sakitmu’. Namun, saat ini Barat telah bangkit dan menjadi pusat peradaban. Di satu sisi, peradaban Islam tenggelam menjadi bagian dari zaman. Pemaparan kembali sejarah keemaasan Islam bukan berarti seperti kelompok ‘romantisisme’ yang membangga-banggakan kesuksesan nenek moyang hanya bisa berpangku tangan. Sejarah kesuksesan ini sengaja dihadirkan agar bisa diambil pelajaran. Setidaknya ada usaha dan harapan.*/Ishom Mudin