Hidayatullah.com- Ketua Komisi Bidang Hukum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Dr Jeje Zaenuddin mengatakan di Indonesia sudah disepakati undang-undang dibentuk melalui legislasi dan legislasi ditentukan dalam prolegnas (program legislasi nasional, red).
Sementara, prolegnas itu dirumuskan dengan empat landasan, yaitu; filosofis, yuridis, sosiologis dan politis.
“Filosofis tersebut maksudnya Ketuhanan yang Maha Esa, keadilan sosial, kesejahteraan dan sebagainya,” kata Jeje usai acara bedah buku bertema “Metode dan Strategi Penerapan Syari’at Islam di Indonesia” di Ruang Utama Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Maka pertanyaannya, kata Jeje, saat pertama rancangan undang-undang dibuat apakah ada pasal-pasal yang bertentangan dengan Ketuhanan yang Maha Esa atau tidak? Jika bertentangan menurutnya undang-undang atau hukum itu gugur dan tidak diperbolehkan.
“Kalau itu sudah terpenuhi selanjutnya apakah sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab di Indonesia atau tidak? Lalu apakah arti dari beradab itu?,” ujar Jeje.
Jeje menegaskan jika adab itu hanya ada dan dikenal oleh umat Islam, sementara umat lainnya tidak mengenal adab.
Untuk itu, menurut Jeje, hukum itu harus mengandung nilai-nilai moral atau akhlaq, secara murni teori-teori Barat (seperti hukum itu harus bebas dari norma atau moralitas) seperti itu tidak bisa dan gugur di Indonesia, karena hukum di Indonesia, lanjutnya, harus sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab.
“Produk perundang-undangan itu pun harus dikontrol oleh masyarakat, apakah sesuai dengan landasan filosofis atau tidak. Jika bertentangan dengan landasan filosofis Indonesia, berarti hukum itu gugur,” tegas Jeje.
Jika sudah memenuhi landasan filosofis, yang kedua menurut Jeje, hukum itu harus sesuai dengan landaskan yuridis Indonesia, di mana negara harus melindungi agama, karena negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Maka hukum perundang-undang itu semuanya harus berdasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945.
“Selanjutnya, hukum harus sesuai landasan sosiologis atau budaya hukum masyarakat di Indonesia yaitu Islam yang muncul dari keluarga. Dan dari situ munculah ekonomi, pendidikan, pergaulan dan lain-lain,” kata Jeje.
Maka, ungkap Jeje, sekarang yang ingin dirusak oleh orang-orang liberal itu dari keluarga terlebih dahulu. Karena dari keluarga pangkal munculnya budaya hukum. Jika keluarga tidak disiplin maka tidak akan ada budaya hukum Negara [baca: Jeje Zaenuddin: Jangan Sampai Pemikiran Liberalisme Masuk Ke Dalam Keluarga].
“Nah, hukum yang mengingkat masyarakat itu hukum yang sejiwa dengan masyarakat. Hukum yang efektif itu hukum yang sejalan dengan jiwa masyarakat,” cetus Jeje.
Di Indonesia, menurut Jeje, hukum tidak berjalan karena tidak sejalan dengan jiwa masyarakat. Dan, lanjutnya, jiwa masyarakat Indonesia sendiri adalah muslim tetapi justru hukum yang digunakan adalah sekuler (hukum buatan orang barat,red) bukan hukum Islam.
Dan yang terakhir, Jeje menegaskan, hukum tidak akan tegak jika tidak ada dukungan politik. Maka, menurutnya, dukungan politik itu juga penting. Apalagi saat ini politik di Indonesia telah dikuasai oleh orang-orang non muslim atau yang memiliki pemikiran barat.
“Sehingga ketiga landasan itu kuat tetapi gagal karena tidak ada kekuatan politik. Ini masalah kita,” pungkas Jeje.*