Hidayatullah.com–Muhammad Sholihin baru saja selesai mengakhiri pengajian dengan beberapa warga ketika mendengar suara ribut orang-orang tak jauh dari mushola. Ketika ia keluar, Nampak beberapa orang berseragam tengah berjaga-jaga di sekitar pondok pesantren yang dipimpinnya. Masyarakat setempat pun bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Sholihin sendiri sama sekali tak mengetahui apa penyebab kericuhan itu.. Yang membuat ia terncengang lagi, ketika mendapatkan informasi bahwa di luar pesantren telah beredar kabar, dirinya telah tertangk aparas tuduhan pelaku terorisme. Melihat hal itu, lelaki asal Mataram itu taktinggal diam. Ia meminta bantuan dari berbagai pihak agar membantu menyelesaikan permasalahan itu.
Demikian salah satu ‘gangguan’ yang ia hadapi ketika bertugas dakwah di Kabupaten Singaraja, Bali.
“Atas kejadian itu, beberapa warga tak mau lagi mengikuti pengajian dengan saya. Kejadian seperti ini sudah biasa bagi kami,” ujar pria kelahiran tahun 1975 itu.
Sebelumnya, lanjut Sholihin, ia pernah diadili oleh oknum pejabat setempat dengan alasan tidak memiliki izin operasional menjalankan pesantren. Ketika ia meminta izin pembangunan dan operasioanal pesantren, ia malah tak diterima. Alhasil, hingga saat ini, pesantren yang ia rintis 2008 silam itu belum mendapatkan izin operasional.
“Yang kami tahu bahwa, ada beberapa pihak yang tak meninginkan keberadaan kami di tempat ini. Namun itu tak menyurutkan semangat kami untuk terus menjalankan amanah dakwah ini,” terang suami Nur Alfiyah tersebut.
Awal Mula
Sholihin bergabung dengan Hidayatullah pada tahun 1993. Ketika itu ia langsung diamanahi sebagai pengasuh. Namun belum genap setahun, ia dikirim ke Surabaya untuk menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Al-Hakim (STAIL) yang ketika itu masih dalam tahap perintisan dan masih mamakai nama Perguruan Tinggi Islam (PTI). Ia adalah alumni pertama lembaga itu. Setelah lulus dan mendapatkan gelar sarjana, pada tahun 1997 ia ditugaskan ke Hidayatullah Denpasar, Bali.
“Selama tiga belas tahun di Denpasar, cukup bagi saya untuk ditugaskan merintis cabang baru di Singaraja,” cerita ayah dari tiga orang anak itu.
Bagi Sholihin, itu tugas yang menantang. Pasalnya, di Singaraja tidak ada tempat pasti yang dituju. Ia hanya dibekali keyakinan terhadap pertolongan Allah. Jika ia membantu agama Allah, maka Allah pulalah yang bakal menanggung kehidupnya.
Dengan keyakinan itu, ditemani anak muda bernama Thamrin, Sholihin menuju Singaraja. Jaraknya dengan Denpasar cukup jauh. Kurang lebih 3 jam perjalanan. Medan jalannya juga berat. Banyak tikungan tajam dan mendaki. Tapi itu tidak menyurutkan nyali Sholihin.
Karena tidak ada tempat tujuan yang pasti serta tidak ada sanak saudara, Sholihin mencari masjid untuk tempat tinggal sementara. Beruntung ada takmir sebuah masjid yang baik hati. Dia bersedia menampung Sholihin.
Selama tinggal di masjid, Sholihin memperkenalkan diri kepada jamaah sekaligus menyampaikan tujuannya berada di Singaraja. Tidak gampang Sholihin bisa diterima oleh jamaah masjid. Maklum orang baru, apalagi kasus bom Bali masih meninggalkan trauma bagi sebagian orang Bali ketika itu.
Dua tahun pertama, belum ada tempat yang pasti yang bisa didirikan pesantren. Barulah tahun ketiga ia mendpatkan wakaf tanah dari seorang penderma.
“Alhamdulillah, perasan keringat kami taksia-sia, hingga kini, pesantren cabang Hidayatullah Singaraja telah berdiri dan mulai menata banguan. Walaupun belum adai zin, Insya Allah kami akan terus berjuang,” terang Sholihin penuh semangat.
Harapannya kini, semoga perjuangannya diberi keistiqomahan dan berjalan lancar. Dan juga ia berharap do’a dari pembaca agar bisa melewati segala rintangan dan halangan perjuangannya. Amin!*/Siraj el-Manadhy