Hidayatullah.com– Komisi Fatwa, Hukum, dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jember merilis hasil kajian mengenai buku “57 Khutbah Jumat: Runut Logika Agama yang Terpadu dengan Kebangsaan dan Sentuhan Doa” yang terdapat beberapa catatan karena condong kepada ajaran Syiah.
Komisi itu memandang, buku tersebut cukup baik, namun kesan bahwa terdapat poin-poin dari isi buku yang tampaknya condong kepada ajaran Syiah tidak dapat dihindarkan.
Hal itu bisa dilihat dari pembahasan mengenai Pernyataan bahwa Nabi Muhammad meminta upah risalah yang termuat dalam halaman 62. Dimana terjemahan al-Qur’an Surat al-Syura ayat 23 dianggap bermasalah.
“Penerjemahan lafadz ‘al-Qurbaa’ dengan ‘keluargaku’ seperti di atas dapat dianggap bermasalah karena lafadz ‘al-Qurbaa’ memang tidak dimudlafkan kepada ya’ mutakallim, sehingga kata ‘ku’ dalam terjemahan ‘keluargaku’ kurang didukung oleh data yang akurat (lihat: Al-Tafsir al-Wajiz juz 2 hal: 561),” bunyi salah satu poin sebagaimana salinan yang diterima hidayatullah.com dari Ketua MUI Kabupaten Jember, Prof Halim Soebahar, Rabu (28/03/2018).
Lalu pada halaman 63 ditulis, “Rasulallah saw meminta upah berupa kecintaan kepada Ahlu Bait atau keluarga dekat beliau”. Dimana pada kenyataannya, menurut Kajian MUI tersebut, terjemahan dan penafsiran seperti ditulis dalam buku “57 Khutbah Jumat” ini adalah pemahaman orang-orang Syiah yang menjadikan kecintaan terhadap Ahlul Bait dalam hal kepemimpinan sebagai ajru al-risalah (upah kenabian).
Hal ini, jelas Kajian Komisi MUI Kabupaten Jember itu, bisa dilihat dalam berbagai literatur Syiah yang antara lain seperti dalam tafsiran at- Thabathaba’i dan Nasir Makarim al-Syairazi (lihat Tafsir al-Mizan, XVIII, 47, Tafsir al-Amthal Fi Tafsir Kitab Allah al-Munazzal, XV, 509).
Baca: MUI Jatim Dorong Semua Provinsi Keluarkan Fatwa Kesesatan Syiah
Penafsiran ala Syiah tersebut, juga dinyatakan dengan lebih jelas dengan beberapa narasi seperti, pada halaman 63 yang menuliskan “jadi, Ahli Bait Nabi itulah jalan menuju Allah SWT”. Demikian juga pada halaman 64 “Alhamdulillah, Kita bersyukur kepada Allah SWT bahwa seluruh Umat Islam sepakat wajibnya mencintai Ahli Bait Nabi SAW. Mana ada seorang Muslim tidak mencintai Ali, Sayyidah Fatimah, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain?”.
“Pemikiran sebagaimana di atas yang dapat dikesankan bahwa Ahli Bait ‘terbatas’ pada Ali, Sayyidah Fatimah, Sayyidina Hasan, dan Sayyidina Husain adalah salah satu ciri khas pemikiran Syiah,” tulis kajian itu.
Selain contoh tersebut, kajian Komisi MUI Jember itu memaparkan beberapa pembahasan lain terkait buku itu yang condong kepada ajaran Syiah. Seperti, disisipkannya pesan provokatif berisi kecurigaan terhadap kaum Muslimin; mengatakan bahwa Allah berkewajiban; menukil hadits-hadits, atsar, dan qaul ulama yang hanya ada di khazanah Syiah; mendorong pengenalan keutamaan Ahlul Bait secara tidak berimbang; dan menyisipkan kisah yang menceritakan keburukan para Sahabat Nabi.
Baca: Wagub Jabar: MUI Harus Lindungi Akidah Umat dari Bahaya Syiah
Komisi Fatwa, Hukum, dan Perundang-undangan MUI Kabupaten Jember menegaskan, meskipun bukan buku khusus tentang Syiah, tetapi isi atau konten khutbah buku “57 Khutbah Jumat: Runut Logika Agama yang Terpadu dengan Kebangsaan dan Sentuhan Doa” cenderung mengembangkan paham dan ajaran Syiah.
MUI Kabupaten Jember juga memutuskan, bahwa buku tersebut tidak dapat didistribusikan atau digunakan sebagai buku khutbah Jumat di masjid-masjid, khususnya di Kabupaten Jember. Karena dinilai berpotensi memicu keresahan dan konflik, sebab hampir 100 persen Ketua Takmir Masjid di Kabupaten Jember menganut Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Sebelumnya, viral di media sosial adanya foto-foto para petinggi negara dan tokoh-tokoh baik politik dan agama yang terlihat memegang buku “57 Khutbah Jumat: Runut Logika Agama yang Terpadu dengan Kebangsaan dan Sentuhan Doa” tersebut.
Di antara tokoh dan pejabat itu adalah Presiden Joko Widodo, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan lainnya.*