Hidayatullah.com– Mardani Ali Sera, Wakil Ketua Komisi II DPR RI menyesalkan terjadinya jual beli blangko KTP elektronik (e-KTP) secara bebas. Ia menggap ini jadi salah satu kejadian luar biasa.
“Ini kejadian luar biasa, dokumen negara bisa beredar di pasaran secara bebas,” kata Mardani di Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis (06/12/2018) dalam pernyataannya.
lebih jauh, juga menyatakan sudah sampai level berbahaya karena berdasarkan investigasi media nasional, blangko e-KTP merupakan asli sesuai yang dikeluarkan dukcapil.
“Ini sudah sampai level berbahaya,” ujarnya.
Pria Kelahiran Betawi ini mengatakan, harus ada audit terhadap proses pembuatan KTP, mulai dari pemerintah, sampai vendor yang mengerjakan proyek ini.
“Pemerintah melalui BPK atau auditor independen harus segera mengaudit dan menangani secara serius, ayo rakyat juga harus ikut mengkritisi,” katanya.
Inisiator gerakan #2019GantiPresiden itu juga menyesalkan isu ini jelang Pemilu 2019.
“Seharusnya Pemerintah bisa menyelesaikan masalah ini, rakyat makin dibuat cemas karena bisa dimanfaatkan untuk kejahatan,” ujarnya.
Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi itu juga mengingatkan, permasalahan e-KTP sering kali punya dapak besar terhadap kisruh di berbagai Pemilihan Umum di Indonesia.
“Selain bisa dimanfaatkan untuk tindakan kriminal, masalah KTP el juga berdampak besar terhadap kisruh dan sangkut pemenuhan hak politik warga negara dan bisa dimanfaatkan oknum-oknum untuk menggandakan indentitas,” ujarnya.
Mardani mengatakan, DPR akan memanggil Kementerian Dalam Negeri untuk menjelaskan audit Kompas terkait e-KTP.
“Secapatnya Komisi II DPR akan segera memanggil Mendagri untuk menjelaskan masalah ini,” pungkasnya.
Sebelumnya diwartakan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) menindaklanjuti kasus penjualan blangko e-KTP di Pasar Pramuka Pojok, Jakarta Pusat, dan di toko yang ada dalam platform e-dagang.
Pengungkapan kasus itu diawali dari investigasi yang dilakukan oleh salah satu harian nasional berpusat di Jakarta.
Berbekal informasi tersebut, Ditjen Dukcapil selanjutnya melakukan penelusuran. Selama dua hari penyelidikan, Ditjen Dukcapil berhasil mengidentifikasi pelaku.
Saat ini, kasus tersebut sudah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, perbuatan tersebut merupakan tindakan pidana.
Ancaman hukumannya berupa pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah.*