Hidayatullah.com– Gara-gara pembangunan jalan tol yang melintasi persawahan, para petani ini kesulitan pergi ke sawah. Proyek pembangunan jalan tol diakui memang untuk kepentingan negara, tapi, siapa peduli dengan nasib petani di sekitarnya yang terdampak?
Curhatan tersebut disampaikan para petani kepada Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mbak Mamiek) di Roemah Rakyat, Jl Cinde Wilis, Kertosari, Babadan, Ahad (31/03/2019).
Setelah menghadiri pengajian Ahad di Universitas Muhammadiyah Ponorogo, keduanya silaturahim dan melakukan dialog terbuka dengan UKM teladan, petani unggulan se-Dapil Jatim VII.
Dalam dialog ini, Mbak Tutut dicurhati petani. Hal yang sama sebelumnya juga berlangsung ketika Mbak Tutut menghadiri sambung rasa di Desa Candirejo, Tegowangi, Plemahan, Kabupaten Kediri.
Salah seorang petani, Muhammad Saipun, mengungkapkan, banyak lahan produktif yang saat ini telah beralih fungsi menjadi jalan tol. “Imbasnya, karena kehilangan lahan, petani tidak bisa bertani kembali,” ungkapnya.
Untuk pergi ke sawah pun, petani tidak bisa seperti dulu lagi. Sebab ada jalan tol, bagi petani yang masih memiliki lahan, harus mengambil jalan memutar. “Petani mikul pacul enggak boleh lewat jalan tol. Saya itu kalau jalan harus muter,” lanjutnya.
Mbak Tutut pun menimpali dengan sebuah pertanyaan. “Terus seharusnya gimana, Pak?” kata Mbak Tutut kepada petani dalam dialog yang berlangsung sangat gayeng tersebut.
“Mestinya,” jawab petani, “tanah-tanah produktif itu jangan dibikin jalan tol. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak, setiap hari orang bertambah. Kalau lahan pertanian produktif dikurangi, mau makan apa kita?”
Mbak Tutut lantas bertanya lagi. “Yang pakai jalan tol siapa?”
“Ya orang yang kaya-kaya itu,” jawab Saipun.
“Di sini yang kaya kan enggak akeh banget to?” tanya Mbak Tutut kembali. “Mboten kathah (tidak banyak). 0,0 sekian persen,” jawab Saipun.
Dialog tersebut terasa penuh kekeluargaan. Mantan Menteri Sosial ini mendengarkan keluhan Saipun dengan seksama. Di antara juga mengenai kondisi petani yang semakin terjepit. Alasannya, petani di daerahnya yang rata-rata menanam janggelan (cincau), empon-empon dan cabai, hanya bisa menanam dan menjual. Mereka tak bisa memproduksi layaknya seperti yang dilakukan pabrik atau industri.
“Misalnya janggelan. Tapi kita selama ini dijual dalam bentuk baku. Dipotong, dijemur lalu dijual. Setelah itu, kita tidak bisa memproses. Kami mengharapkan bagaimana proses standar pabrikan dan distribusinya,” papar Saipun.
Menanggapi itu, Mbak Tutut mengatakan, pihaknya melalui Partai Berkarya akan melakukan pelatihan. Selain itu, melalui Partai Berkarya pula, ada program untuk memasarkan hasil produksi petani.
“Nanti adik saya, Tommy (Tommy Soeharto, Ketua Umum Partai Berkarya) akan membangun toko-toko yang nantinya akan menampung semua hasil masyarakat,” jelasnya kutip INI-Net.
Menurutnya, selain hasil pertanian, juga sayuran dan peternakan, akan dibeli dengan harga yang pantas, bukan yang murah.
Sebelum dialog, Mbak Tutut didampingi adik bungsunya Siti Hutami Endang Adiningsih (Mbak Mamiek) bersama Caleg DPR RI Partai Berkarya Dapil VII Mardiana Indraswati juga melihat hasil olahan cincau oleh petani setempat.
Mbak Tutut dan Mbak Mamiek juga merasakan cincau yang sudah diolah dan disajikan dalam bentuk es cincau itu.*