Hidayatullah.com | BERBAGAI jenis tanaman mulai jagung, singkong, hingga daun sereh tumbuh subur di balik pagar. Tak jauh dari situ, beragam jenis tanaman hidroponik tampak dalam pot masing-masing pada sebuah kebun khusus.
Pemandangan segar memanjakan mata itu bukanlah di area pedesaan di pelosok kampung, melainkan di Pondok Pesantren Hidayatullah, Kota Depok, Jawa Barat.
Di hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 tahun, Senin (17/08/2020), ponpes yang terletak di perbatasan Kota Depok-Kabupaten Bogor nan ramai penduduk ini terus bergeliat dalam usaha ketahanan pangan.
Sebagaimana dirasakan banyak kalangan, meski telah lama merdeka, Indonesia belum sepenuhnya merdeka dalam banyak aspek. Berbagai upaya pun dilakukan demi meraih kemerdekaan sepenuhnya.
Termasuk yang dilakukan banyak pesantren di berbagai daerah, sebagai salah satu pelopor dalam swasembada pangan.
Begitu pula yang selama ini diusahakan oleh Pondok Pesantren (Kopontren) al-Ittifaq di Kabupaten Bandung.
Adalah Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) al-Ittifaq yang mengawali geliat pertanian di pesantren. Bahkan, bisa dikata hampir semua pesantren pertanian di Indonesia berguru ke lembaga pendidikan Islam pimpinan KH Fuad Affandi ini.
CEO Kopontren al-Ittifaq, Setia Irawan, menuturkan, pesantren ini memang sudah berkegiatan di sektor pertanian sejak dulu.
“Alasan awalnya untuk memenuhi kebutuhan santri. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata ada peningkatan kapasitas produksi,” tuturnya di perkebunan pesantren yang terletak di area pertanian Kampung Ciburial, Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali beberapa waktu lalu.
Dari situ, pengurus kopontren mengembangkan kegiatan agrobisnis. Tahun 1993, mereka mulai menyuplai kebutuhan sayur mayur di pasar-pasar modern. Karena permintaan tinggi, mereka pun meningkatkan kualitas, kontinuitas, dan komitmen produksinya.
“Sejak 1993 kita sudah mendampingi kelompok-kelompok tani (poktan),” ujarnya. Awalnya 5, kini telah mencapai 9 poktan dan mendampingi 15 pesantren se-Jabar.
Menariknya, sebelum menanam sebuah komoditas, mereka melakukan pemetaan pasar terlebih dahulu. “Setelah tahu pembelinya siapa, penggunanya dari mana, baru kita sesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan konsumen,” jelasnya saat diwawancarai secara terpisah, awal Mei lalu.
Selanjutnya, mereka memetakan wilayah perkebunan, lalu melakukan sistem pola tanam bekerjasama dengan 9 poktan—yang anggotanya sekira 270 petani alumni dari pesantren al-Ittifaq.
Dari pasar-pasar yang telah dipetakan, dihitung seberapa banyak kebutuhannya. Tujuannya agar tidak terjadi kelebihan produksi. “Supaya kontinuitas pengiriman yang kita lakukan ke market-market bisa berjalan berkesinambungan,” ujarnya.
Hingga kini, pesantren yang berdiri tahun 1934 (sekaligus ralat: sebelumnya pada Majalah Suara Hidayatullah ditulis tahun 1970) ini setiap hari menyuplai sekitar 5,7 ton sayuran ke pasar-pasar modern di Jakarta dan Bandung. Itupun dirasa kurang.
Libatkan Warga
Agrobisnis kopontren itu juga memberi manfaat besar kepada masyarakat sekitar. Sebab, kata Irawan, sistem pola tanam yang dianut al-Ittifaq yaitu setiap hari ada yang dipanen dan ditanam. Lalu, muncul sistem permakultur, di mana satu lahan bukan hanya satu jenis sayuran, tapi lebih (tumpang sari).
“Tidak mungkin hanya (pakai) lahan al-Ittifaq yang 14 ha. Jadi, kita melibatkan masyarakat yang jauh lebih besar lagi,” ujarnya.
Kenapa al-Ittifaq fokus pertanian? Irawan menjelaskan, pertama, petani itu salah satu pekerjaan mulia. Selain menjaga alam, hasilnya dapat memenuhi kebutuhan manusia. Kedua, pesantren tidak bisa menjamin semua alumninya bakal menjadi ustadz atau kiai. Ketika, terjun ke masyarakat, mereka harus punya keahlian untuk memberdayakan masyarakat yang berekonomi sulit.
Ia menyebut, ketika pulang ke daerah masing-masing, santri akan menjadi agen perubahan. Sehingga, selain dalam agama, mereka juga berguna bagi ekonomi masyarakat. “Ini sebenarnya meniru Nabi Muhammad. Bukan hanya pendakwah, beliau juga seorang pedagang,” jelasnya.
Kata Irawan, 5,7 ton sayuran yang disuplai ke Jakarta dan Bandung sesungguhnya baru memenuhi 18 persen kebutuhan sayuran di kedua kota besar itu. “Artinya ceruk agrobisnis di sektor ini masih sangat besar,” ungkapnya.
Karena itu, dia mengajak pesantren lain bekerjasama. Lebih jauh, mengajak kaum Muslimin agar bersatu khususnya di bidang agrobisnis. “Ekonomi umat itu benar-benar bisa direalisasikan.”
Ia berharap, umat Islam khususnya para pengusaha Muslim agar membantu para petani dengan berinvestasi dan bergerak bersama. “Karena kalau ini kuat, dapat menjadi momentum untuk kebangkitan umat,” jelasnya, seraya mempersilakan pesantren lain termasuk Hidayatullah untuk berkunjung ke al-Ittifaq.
Bagi Hasil
Kiprah agrobisnis al-Ittifaq tidak lepas dari arahan KH. Fuad Afandi. Selain guru spiritual, Kiai Fuad juga berkecimpung di pertanian. Ia dikenal sebagai penemu Mikroorganisme Fermentasi Alami (MFA) dan tiga jenis pembasmi hama tanaman.
Banyak prinsip yang selalu dipesankan Kiai Fuad kepada para pengelola pesantren dan umat Islam secara umum. “Jangan ada sejengkal tanah yang tidur. Tidak ada sesuatu tidak bermanfaat. Semuanya memiliki manfaat di alam dunia ini. Jangan ada sehelai sampah tercecer. Sampah bisa kita jadikan pupuk. Jangan ada sedetik pun waktu nganggur, usahakan bisa maksimal dalam berkegiatan, manfaatkan waktu sebaik mungkin,” Irawan menirukan pesan Kiai Fuad.
Spirit Kiai Petani itu juga mengilhami Asep Juana, Perintis Pesantren Pertanian at-Taqwa, Kampung Pangkalan, Desa Cimanggu, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, pada 2006 lalu.
Ia mengaku, Kiai Fuad adalah gurunya, baik dalam ilmu agama maupun pertanian. “Para santrinya juga banyak yang berhasil dalam mengembangkan usahanya dan membuat pesantren. Beliau sampaikan mental tangguhnya, ulet prinsipnya. Jangan tinggalkan shalat lima waktu, dan jadikan Islam rahmatan lil alamin’,” ujar Asep.
Pesantren at-Taqwa berawal dari program Bina Desa Sejahtera (Bindera) Baitul Mall Hidayatullah (BMH). Waktu itu, Asep resah melihat fenomena lingkungan sekitar. Dengan konsep pesantren pertanian, ia berharap dapat mengedukasi masyarakat untuk kembali menguatkan aqidah dan pemahaman agama, serta mendidik para remaja mencintai dan mengelola lahan pertanian.
Untuk merawat spirit bertani, ia pun membentuk poktan beranggotakan alumni pesantren. “Mereka tinggal di kampung. Sehingga dapat terus menjiwai program pertanian, yang bisa menjadi inspirasi dan menyemangati para santri,” jelas Asep.
Ia juga melakukan program edukasi bagi santri dan poktan agar memproduktifkan lahan pertanian. Selain menanam berbagai sayuran, juga memelihara ikan. Pada Mei 2017, pesantren ini meluncurkan Gerakan Mari Menanam.
Dari total 5.300 meter persegi tanah milik pesantren, seluas 3.500 meter persegi dijadikan lahan pertanian. Lahan lainnya untuk gedung asrama, PAUD, dan rumah asatidz. Ia menitipkan kambing untuk dipelihara warga sekitar. “Dengan sistem bagi hasil 50:50,” sebutnya.
Hasil pertanian juga telah dinikmati ponpes dan warga sekitar. Seperti membantu operasional ponpes, hasil tani bisa langsung dikonsumsi santri, ponpes dapat dana bagi hasil dari usaha poktan dan peternakan. “Warga sekitar dapat manfaatnya juga,” tutupnya.* Muh. Abdus Syakur/Sebagian artikel ini telah dimuat Suara Hidayatullah edisi Juni 2020, dimuat kembali hidayatullah.com dengan penyesuaian redaksi