Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | IA bukanlah seseorang yang ketakutan dengan jeruji besi. Sebaliknya ia menganggap bahwa jeruji besi, jika harus diterimanya, itu bagian dari perlawanan atas ketidakadilan yang dihadapinya.
Buatnya jeruji besi, tahanan, tidak sedikit pun menyurutkan nyali untuk merebut haknya mendapat keadilan. Maka, ia tidak sedikit pun merasa lelah melawan ketidakadilan tanpa henti.
Semakin keras ketidakadilan diterimanya, semakin keras pula “perlawanan” untuk mendapatkan keadilan ia lakukan. Tidak ada rumus takut di dirinya. Mendekatinya dengan sikap keras, itu sama sekali tidak efektif.
Sikapnya itu menuai simpati yang makin besar dari umat. Bebannya lalu diambil alih umat, menjadi beban bersama. Dan jika itu yang terjadi, maka umat akan “tertular” merasa tidak takut sedikit pun memperjuangkan keadilan ulama idolanya.
Gerakan simpati itu akan muncul, bahkan bisa jadi sudah muncul, dan itu mustahil bisa dihentikan meski dengan pendekatan kekerasan. Nyali berani itu sudah terbentuk membuat komunal besar yang sulit diprediksi.
Membaca eksepsi yang ditulisnya sendiri berjam-jam, mementahkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dengan tetap dalam intonasi terjaga. Eksepsi berbobot yang dibuatnya itu memereteli ketidakadilan yang disampaikan penuntut umum. Satu persatu dikuliti habis, dan itu bisa dilihat dari video yang beredar luas. Meski sidang dibuat tertutup serapat-rapatnya.
Tidak ada yang bisa disembunyikan, meski coba disembunyikan. Meski Covid-19 dibuat alasan sidang tertutup. Mestinya setidaknya wartawan boleh menghadiri sidang itu, agar jalannya sidang bisa diinformasikan pada publik. Hak publik mendapat informasi.
Dengan sidang tertutup, itu seolah ada yang disembunyikan, dan itu tentang ketidakadilan. Jika ketidakadilan itu nista, memalukan, maka seharusnya itu tidak jadi pilihan. Namun, jika ketidakadilan itu tetap jadi pilihan, maka pantaslah jika banyak pihak yang menyebut sidang Habib Rizieq itu sebagai sidang dagelan yang tidak lucu, yang bahkan mampu mengundang amarah publik.
Baca: Offline Close Trial: Sarana Mengetuk Pintu Langit
Eksepsi yang Memukau
Meski eksepsi itu melawan absurditas hukum administratif menjadi hukum pidana, sebuah tuntutan aneh yang dilakukan penuntut umum untuk melawan terdakwa Habib Rizieq Shihab, tapi eksepsi yang dibuat dengan pikirannya sendiri, itu sungguh dahsyat.
Mengingatkan saat Soekarno, yang kemudian menjadi Presiden RI ke-1, sebagai tahanan politik pemerintah kolonial Belanda membacakan pidato pembelaannya (eksepsi), yang diberi judul “Indonesia Menggugat”, di Landraad, Bandung, tahun 1930. Eksepsi yang juga dibuatnya sendiri.
Soekarno melawan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial, dan itu juga tentang ketidakadilan. Meski di era kolonial, pengadilan Soekarno itu sidang terbuka untuk umum. Meski itu sidang politik yang sensitif, yang bahkan bisa membangkitkan semangat perlawanan.
Sedang sidang Habib Rizieq ini hanya sidang kelas ecek-ecek, yang semua tahu, bahwa jika ia salah, itu hanya kesalahan administratif. Ia sebenarnya sudah disidangkan pada kasus kerumunan Petamburan, dan lalu didenda Rp 50 juta. Denda pun sudah dibayarnya kontan. Itu denda paling besar yang dibebankan perseorangan pada kasus prokes. Lalu, kok ia lantas harus dituntut lagi pada kasus yang sama untuk kedua kalinya. Tidak cukup hukuman administratif, tapi juga mesti diangkat sebagai kasus pidana.
Pengamat menyebut, bahwa sidang Habib Rizieq ini sidang yang ditarik pada politik; sidang politik. Ada yang menyebut, Habib Rizieq itu memang ditarget. Jika analisa itu benar, maka sidang Habib Rizieq ini sulit diharapkan memunculkan keadilan. Jika benar ia ditarget, maka hasil pengadilan, bisa jadi, sudah ditentukan sebelum sidang berlangsung.
Baca: “Saya Tidak Ridha Dunia Akhirat…,” yang Mengguncang Arsy’
Lalu apa gunanya seorang Habib Rizieq membuat eksepsi dengan begitu panjang berkelas, runtut, tajam dan menguliti tuntutan penuntut umum dengan telak, pastilah itu bukanlah hal sia-sia. Habib Rizieq ingin menunjukkan, bahwa ia memang sedang dizalimi dengan ketidakadilan, dan ia melawan dengan pembuktian eksepsi yang disampaikannya, semacam Soekarno dulu dalam pengadilan kolonial yang juga menuntut keadilan.
Keadilan itu cuma dituntut manusia yang sadar akan harkatnya. Jika tidak merasa bersalah, maka ia akan melawan untuk membuktikan bahwa tuntutan terhadapnya itu salah, dan dilakukan sewenang-wenang. Karenanya, ia ingin buktikan ketidaksalahannya itu.
“Indonesia Menggugat”, itu sejarah ketidakadilan di era kolonialis Belanda. Ketidakadilan di masa penjajahan, itu hal lazim. Menjadi tidak lazim dan jahat jika itu terjadi di negeri yang sudah lebih tujuh dekade merdeka.
Kisah pengadilan Habib Rizieq Shihab ini, meski eksepsinya tidak diberinya judul, tetap akan diingat/dicatat sejarah sebagai ketidakadilan luar biasa, dan absurditas dalam sistem peradilan di Indonesia.
Berharap semoga catatan buruk ini tidak pernah ada, itu jika Majelis Hakim berani bersikap, dan dengan nuraninya memutus dengan keadilan. Kita lihat saja nanti putusan hukumannya bagaimana, dan juga respons umat melihat putusan pengadilan itu. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya