Oleh: Ade Ayu Setiawati
Hidayatullah.com | JAMINAN sosial kesejahteraan guru sudah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Namun nasib guru honorer saat ini sangat jauh dari kesejahteraan.
Minimnya gaji guru honorer yang hanya ratusan ribu per bulan, jelas tidak mencukupi kebutuhan pokok hidup keluarga. Belum lagi gaji yang sering dirapel.
Sudah sedikit, dibayar per tiga bulan pula. Inilah nasib guru honorer!
Seperti di Banten, gaji guru honorer bahkan lebih kecil dari gaji pembantu. Dilansir dari BantenNews.co.id, gaji guru honorer di Banten, khususnya jenjang SD dan SMP hanya mencapai Rp300 hingga Rp500 ribu per bulan.
“Lebih besar gaji pembantu yang bisa mencapai Rp1 juta sebulan,” kata ketua forum guru honorer Banten Martin Al Kosim kepada BantenNews.co.id, Senin (25/11/2019)
Bahkan ada pula guru honorer yang tidak dibayar keringatnya selama dua tahun. Seperti pengakuan Munir Alamsyah, salah seorang mantan guru honorer asal Garut kini diamankan polisi karena nekat membakar SMPN 1 Cikelet akibat gajinya selama mengajar tidak dibayarkan selama dua tahun sampai saat ini.
Alih-alih mendapatkan hak upahnya, justru malah mendekam di penjara. Nasib guru honorer kian tak menentu.
Lelahnya mereka dalam mengabdi untuk negeri dihargai sangat minim untuk uang bensin dalam sebulan saja tidak cukup, bahkan tidak sedikit para guru honorer yang sama sekali tidak mendapat upah.
Jerit guru honorer yang semakin nyaring, membuat pemerintah mengambil kebijakan untuk mereka. Sebelumnya pemerintah menggantikan formasi PNS Guru menjadi PPPK dengan harapan bisa menyelesaikan masalah para guru honorer.
Nyatanya, tidak semua guru honorer bisa mengikuti tes PPPK karena ada beberapa syarat berikut: Honorer THK-2 sesuai database THK-2 di BKN, guru honorer yang masih aktif mengajar di sekolah negeri di bawah kewenangan Pemerintah Daerah dan terdaftar sebagai guru di Dapodik Kemendikbud, masih aktif mengajar di sekolah swasta dan terdaftar sebagai guru di Dapodik Kemendikbud, lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang belum menjadi guru dan terdaftar di Database Lulusan Pendidikan Profesi Guru Kemendikbud, batas usia pelamar seleksi PPPK guru paling rendah adalah 20 tahun dan paling tinggi adalah 59 tahun saat mendaftar.
Dengan persyaratan PPPK tersebut, tidak menjadikan solusi bagi nasib para guru honorer. Karena tidak semua mampu memenuhi syarat tersebut meski sudah mengabdi puluhan tahun dengan upah yang minim.
Lagi-lagi kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah. Setelah kebijakan diadakannya PPPK bagi guru honorer yang tidak solutif, pemerintah berencana untuk menghapuskan status guru honorer pada tahun 2023 mendatang.
Dikutip dari liputan6.com, Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN RB) Tjahjo Kumolo menegaskan status tenaga honorer akan selesai atau dihilangkan pada tahun 2023. Sehingga tidak ada lagi pegawai berstatus honorer di instansi pemerintahan.
Hal ini tentu menimbulkan banyak keresahan bagi guru honorer. Ketua Forum Guru Honorer Sekolah Negeri (FGHSN) Gunungkidul, mengaku resah karena mengingat masih banyak guru honorer yang belum diangkat menjadi ASN baik itu PPPK ataupun PNS.
Padahal maju dan mundurnya peradaban suatu negeri tentu dipengaruhi oleh pendidikannya. Bagaimana mungkin pendidikan akan berkualitas jika para tenaga pendidiknya tidak semua mendapatkan kesejahteraan yang layak.
Gelar yang disematkan kepada para guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa di negri ini patut dipertanyakan. Karena, seharusnya para guru termasuk honorer sangat layak mendapat penghargaan dari jasa-jasanya dalam pendidikan dengan diberikan kelayakan dalam upah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sehingga ketika guru mengabdi, mereka tidak merasa kelaparan, mereka tidak lagi sibuk memikirkan biaya hidup lainnya yang semakin meningkat. Kesejahteraan yang harusnya bisa dirasakan oleh semua guru, tidak ada dikotomi status PNS, PPPK atau honorer. Sayangnya hal ini tidak dirasakan oleh semua guru di negeri ini.
Sungguh tak ada yang bisa diharapkan dari keadilan bagi guru honorer dalam sistem kapitalis. Pengorbanan yang besar tak sebanding dengan gaji yang didapat.
Berbanding terbalik dengan para pejabat dan staf khusus yang gajinya melangit. Lantas sebenarnya, yang membebani negara itu siapa? Guru honorer yang gajinya tak seberapa, ataukah para pejabat dan staf khusus yang digaji dengan angka luar biasa?
Kisah Guru di Era Umar bin Khattab
Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 31.875.000).
Sungguh luar biasa, dalam naungan pemimpin adil, para guru akan terjamin kesejahteraannya sehingga dapat memberi perhatian penuh dalam mendidik anak-anak muridnya tanpa harus terbebani untuk membagi waktu dan tenaga mencari tambahan pendapatan.
Tidak hanya itu, negara dalam naungan Khalifah Umar juga menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma dalam menunjang profesionalitas guru menjalankan tugas mulianya.
Sehingga selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.
Di dalam Islam tidak ada istilah guru honorer. Seluruh pegawai yang bekerja diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijarah (kontrak kerja). Mereka mendapatkan perlakuan adil sejalan dengan hukum syariah.
Hak-hak mereka sebagai pegawai, baik pegawai biasa maupun direktur, dilindungi negara. Para pegawai bekerja sesuai dengan bidang masing-masing dengan selalu memperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai pegawai negara maupun sebagai rakyat.
Dalam konteks sebagai pegawai, mereka bertugas melayani urusan-urusan rakyat, sesuai dengan tugas dan fungsi mereka di masing-masing departemen, jawatan, dan unit. Mereka tidak dibebani dan dituntut melakukan tugas-tugas di luar tugas yang telah diakadkan dalam akad ijarah.
Adapun dalam konteks mereka sebagai rakyat, negara Khilafah akan melayani dan memperlakukan mereka hingga apa yang menjadi hak mereka terpenuhi secara sempurna. Maka, hanya dengan syari’at Islam, kesejahteraan para guru akan terwujud. Bukan hanya sekedar mimpi layaknya di sistem kapitalis. Wallahu’alam bisshowwab.*
Penulis sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar – Universitas Pendidikan Indonesia 2016