Oleh Ainuddin Chalik
“DUARR!”. Sarinah mendunia. Aksi teror yang terjadi di bilangan MH Thamrin, tepat di jantung ibu kota Jakarta, Kamis (14/01) dua pekan lalu itu tidak sekedar mencuri perhatian yang hingga kini masih menyisakan gempita. Dan, tak ayal, juga memantik teka-teki di benak khalayak.
Beragam analisa pun segera saja mengemuka, namun umumnya narasi mengarah pada satu muara: Indonesia darurat terorisme.
Wacana untuk dilakukan pengetatan dan pematangan rencana revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme bergulir alot.
Pemerintah pun akhirnya memutuskan untuk merevisi beberapa poin diantaranya mengenai penambahan waktu penahanan untuk keperluan pemeriksaan terduga teroris serta pencabutan kewarganegaraan bagi WNI yang mengikuti latihan perang di luar negeri.
Poin lainnya yang akan direvisi adalah mendorong peran serta kepala daerah dan masyarakat mencegah aksi terorisme dan penetapan barang bukti untuk menindak terduga teroris cukup dengan izin hakim pengadilan.
Namun, kurang elok rasanya apabila pemerintah terburu-buru melangkah sebelum semuanya benar-benar zahir. Poin-poin revisi harus tetap menjamin hak-hak asasi masyarakat, di antaranya mencakup kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dini Syamsuddin bahkan mewanti-wanti jangan sampai revisi UU itu mudah dijadikan alat untuk melakukan tindakan represif dan intimidasi kepada rakyat.
Di tengah situasi yang belum sepenuhnya pulih pascainsiden, Din menyarankan pemerintah mengambil jeda sejenak dan tidak tergesa-gesa sambil berpikir secara jernih apa yang perlu disempurnakan (Harian Republika, Selasa, 19 Januari 2016).
Di waktu yang bersisian, masih ada ihwal yang masih kelabu. Diantaranya, misalnya, perlunya memverifikasi pernyataan enam detik orang yang diduga Bahrun Naim di SoundCloud yang mengelak dituding sebagai dalang aksi teror terkutuk itu.
Bahrun Naim, menurut polisi, merupakan petinggi ISIS Indonesia yang tak lama setelah kejadian mengklaim sebagai kelompok yang bertanggungjawab atas aksi “gerilya kota” itu. Naim pun ditantang pulang ke Indonesia untuk menyangkal bila tidak terkait dengan aksi peledakan dan penembakan di Thamrin itu. Apakah Bahrun Naim akan muncul? Kita sama-sama menanti.
Yang sudah pasti temarang, tujuan pelaku mengkonstruksi ketakutan seratus persen gagal. Alih-alih mencipta kengerian, publik Jakarta yang kebetulan berada dekat dengan tempat kejadian perkara (TKP) malah ramai-ramai menjadikannya tontonan gratis.
Melalui beragam saluran informasi baik cetak, elektronik, maupun online, peristiwa itu kemudian lekas hinggap di benak publik layaknya sebuah destinasi wisata dadakan yang nampak tak mengindikasikan adanya suasana teror kendati menelan korban yang sebagian besar adalah pelaku.
Beberapa waktu setelah kejadian, hashtag #KamiTidakTakut di Twitter segera menjadi trending topic dunia disusul berbagai neologisme visual (meme) dengan bermacam karakter menyebar viral hingga ke perangkat-perangkat gawai.
Tidak saja tukang sate Pak Jamal yang langsung tenar dan penjaja kacang rebus mendulang untung melimpah bak durian runtuh seturutan dengan peristiwa itu. Tidak lupa –tentu saja- adalah aksi heroik “polisi ganteng” yang secara akrobatik tampil menawan menjadi buah bibir dengan penampilannya yang stylish saat melakukan penyergapan pelaku.
Kontraindikasi pun menyeruak antara apa yang menjadi tujuan kelompok peneror dan dampak psikis yang kemudian terjadi. Di luar skenario, publik disuguhi semacam suplementasi memikat “polisi ganteng”. Heroisme itu lalu diaksentuasi di jejaring beragam platform media hingga mampu menciptakan rasa haru dan kegembiraan (happy) bagi publik. Tak pelak, situasi itu kemudian gagal menghadirkan suasana horor yang menjadi tujuan umumnya pelaku teror.
Aksi polisi bepenampilan macho ini mendadak beken menjadi pujaan khalayak netizen. Seraya menggenggam pistol, polisi tegap itu mengenakan kaos oblong berkerah, tas sling bag layaknya dipakai anak muda masa kini, dan sepatu Gucci yang selaras dengan celana, mereka memantik daya magis tersendiri.
“Teoris hati kalian,” guyon Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Krishna Murti, mengomentari viral anak buahnya itu.
Ekspresi Publik
Fenomena yang disebut terakhir di atas tentu saja bukan gejala biasa. Meriungnya manusia tanpa rasa takut di tengah desing deru peluru bahkan tak sedikit yang -dengan santai- membidikkan kamera ponselnya, mengindikasi ada laku yang tidak cukup semata terkategori sebagai penanda keingintahuan individu tentang sesuatu (knowing every particular object, KEPO) yang telah menjadi watak umumnya kita.
“Polisi ganteng” dengan atribut fashionable-nya menjadi magnet tersendiri yang tak terduga menjadi salah satu topik yang paling diminati di sosial media. Dampaknya kemudian pun bisa dilihat sendiri. Di Instagram, sejumlah pedagang memanfaatkan suasana haru biru itu dengan berjualan barang-barang bermerek yang kabarnya dikenakan sang polisi saat beraksi seperti kacamata hitam polaris, sepatu Gucci, tas Coach, dan rompi Adidas.
Dari sudut pandang perilaku sosial, kelihatannya memang publik tidak saja kepo, melainkan juga didorong oleh nilai ingin dituju yang, menurut Max Scheler (1913), tidak saja sekedar dipicu untuk kepuasan perasaan tetapi karena kenikmatan (atau kegembiraan) yang dipandang sebagai nilai. Sebuah nilai tertinggi –tentu saja, tidak saja melulu dipertaut dengan entitas material semata, tetapi juga menyangkut aspek kejiwaan atau ekstase yang berdimensi transenden.
Di titik inilah saya melihat aksi polisi ganteng tidak saja memunculkan “gejolak hati” yang di satu sisi dianggap sebagai nilai esoterik utama pada saat itu. Di sisi lainnya, respon yang kemudian ditunjukkan oleh publik menjadi semacam langgam ekspresi metaforis yang mencerminkan interes publik akan suasana kegembiraan atau hal-hal yang menyenangkan.
Boleh jadi keterpikatan publik terhadap beragam perihal yang memuat sisi entertain seturut dengan indeks kebahagiaan (happiness index) masyarakat Indonesia yang relatif kurang bergembira. Kendati indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia pada tahun 2014 meningkat menjadi 68,28 dari tahun sebelumnya sebesar 65,11, namun data terakhir indeks kebahagiaan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) itu tentu saja tidak menggambarkan keselurahan realitas yang ada secara valid.
Pendeknya, berkaca dar dari fenomena “polisi ganteng” yang menghibur dan memantik empati publik, deradikalisasi yang selama ini santer digencarkan dengan penindakan sebaiknya beralih lebih banyak dilakukan dengan pencegahan dengan pendekatan yang menghibur, happy, humanis, dialogis, dan penuh kegembiraan yang diharapkan melahirkan kesalingterbukaan.
Melulu deradikalisasi dengan pola pendekatan represi tak akan lekas mengurai masalah terorisme, malah beberapa kali penindakan yang dilakukan terjadi salah tangkap dan sejumlah diantaranya sempat mengalami intimidasi.
Sehingga, pada titik ini sebenarnya, UU Antiterorisme tidak mendesak untuk direvisi melainkan cukup direvitalisasi apa-apa saja yang selama ini belum berjalan dengan baik tanpa menafikkan bahwa aktualisasi tetap perlu dilakukan sesuai kebutuhan dan tuntutan keadaan. Dengan catatan, revisi tetap harus melalui pengkajian yang komprehensif dan tak dilakukan tergesa-gesa.
Namun, jangan lupa, sejatinya terorisme tidaklah berdiri sendiri atau atas motif ideologi semata. Ia bisa membiak karena dipicu oleh banyak aspek. Anomali penegakan hukum, ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial, serta beragam problem krusial kebangsaan lainnya, turut membuncahkan benih terorisme terutama menyasar individu-individu yang berada dalam kelas sosial dan strata ekonomi yang kurang “happy”.
Karena itu, aspek-aspek kehidupan esensial yang menjadi tolok ukur tren happiness index hendaknya terus menjadi concern pemerintah sehingga kesenjangan yang ada semaksimal mungin dapat direduksi.
Karena, bagaimanapun, keterjangkauan publik terhadap layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan, merupakan kebutuhan hakiki manusia.
Satu hal yang perlu dikemukakan, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan Pancasila sebagai alat pemersatu yang notabene digagas oleh para ulama dan tokoh Islam, memberikan keleluasaan bagi warganya untuk memanifestasikan nilai-nilai keyakinan religiusitasnya.
Sayangnya, suasana keberagamaan yang elok ini entah mengapa tidak cukup dimengerti kelompok teror sehingga mereka dengan bebasnya melekatkan predikat negatif pada hal-hal yang dianggap profan tanpa mau tahu bahwa petunjuk (hidayah) hak prerogatif Ilahiah semata.
Kita-kita ini, manusia, hanya bisa mengusahakan sampainya petunjuk-Nya itu melalui seruan-seruan yang menggembirakan pertama-tama dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan seraya merujuk kepada alur Sistematika Wahyu sebagai tuntunan paripurna umat manusia. Bukan dengan teror dan kebengisan. Begitulah kesejatian agama menuntun kita.*
______
Penulis adalah wartawan