Shuhaib mengorbankan semua kekayaannya untuk mendapatkan ridha Allah dan menjalani kehidupan yang keras sampai kematian mendatanginya
Oleh: Choirunisa Karina
Hidayatullah.com | BELUM lama ini viral seorang kakek dari Turki bernama Mehmet yang seharusnya ke Tanah Suci 10 hari setelah peristiwa gempa Turki serta Suriah awal Februari lalu, namun membatalkan keberangkatannya dan menyumbangkan seluruh dana umrahnya untuk korban gempa.
Pada masa awal Islam, sebagian besar Sahabat Rasulullah hidup miskin. Ada yang memang miskin sejak awal ataupun sebab telah mengorbankan kekayaan mereka untuk Islam. Meski kekurangan, hal itu tidak menghalangi mereka untuk menjadi yang terbaik dalam hal ibadah dan melakukan amal shalih untuk meraih ridha dari Allah SWT.
Ada kisah menarik tentang seorang budak milik Abdullah bin Jad’an, yang mampu memulai bisnis dan segera menjadi kaya raya. Meskipun ia adalah seorang budak, namun dikenal karena keahliannya dalam memanah serta juga lihai menggunakan pedang. Berkat kecerdasan dan etos kerjanya yang tinggi, Abdullah bin Jad’an pun membebaskannya.
Budak itu bernama Shuhaib ar-Rumi RadhiyAllahu‘anhu. Kisahnya cukup terkenal karena banyaknya pengorbanan yang dilakukan untuk Islam dan bagaimana Allah memuliakannya atas tawar-menawar yang ia lakukan.
Ketika Shuhaib akhirnya memeluk Islam dan memutuskan berangkat ke Madinah, orang-orang kafir Quraisy menghalangi jalannya. Dia berjuang sampai mencapai puncak gunung tempat melakukan tawar-menawar dengan kaum Quraisy.
Dia berkata, “Kalian semua tahu dengan baik, bahwa aku yang terbaik di antara kalian dalam hal memanah, dan aku akan menggunakan seluruh anak panahku untuk melawan kalian, dan kalian semua tahu dengan baik kalau aku adalah yang terbaik dalam memegang pedang, jadi aku akan bertarung dengan kalian sampai pedangku patah. Namun, kalau Anda membiarkanku pergi dengan damai, Anda semua tahu betul bahwa aku memiliki kekayaan yang sangat besar dan aku pun telah menyembunyikannya di beberapa tempat. Aku akan menyerahkan semua kekayaanku dan memberi tahu Anda di mana harta tersebut aku sembunyikan.”
Akhirnya, kaum Quraisy melepaskannya, dan Shuhaib pun menyerahkan seluruh kekayaannya dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Madinah.
Setelah Shuhaib sampai di Madinah dan menjumpai Rasulullah ﷺ langsung mengucapkan:
ربح البيع أبا يحيى.. ربح البيع أبا يحيى
“Perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya… perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya.”
Shuhaib merasa heran, “Wahai Rasulullah, tak ada seorang pun yang melihat apa yang kualami.” Rasulullah ﷺ pun menjawab, “Jibril yang memberi tahuku.”
Lalu turunlah ayat:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya sebab mencari keridhaan Allah dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Surat al-Baqarah [2]: 207).
Shuhaib mengorbankan semua kekayaannya untuk mendapatkan ridha Allah dan menjalani kehidupan yang keras sampai kematian mendatanginya.
Mari kita renungkan sejenak. Ketika waktunya tiba, siapkah untuk merelakan dan mengorbankan semua yang kita miliki saat ini demi Allah, sebagaimana apa yang telah dilakukan Shuhaib? Rasanya sulit untuk menyatakan bahwa kita sudah siap.
Bahkan untuk mengeluarkan satu lembar lima puluh ribu untuk infaq, terasa sulit. Hati kita telah begitu terikat terhadap dunia—merasa kekayaan yang kita peroleh adalah hasil kerja keras sendiri, sehingga kita lupa bahwa Allah-lah yang sejatinya memampukan dan memudahkan jalan rezeki kita hingga sedemikian rupa.
Seharusnya kita selalu ingat, bahwa apapun yang kita dapatkan dan miliki di dunia ini asalnya dari Allah SWT semata. Maka, seharusnya kita bertanggung jawab saat membelanjakan karunia tersebut sehingga membuat Allah pun ridha.
Ketika mampu memberi, jangan berpikir dua kali. Ketika mampu, itu adalah waktu terbaik untuk segera melakukannya, dibandingkan saat kita tak memiliki apa-apa.
Sadarilah bahwa kekayaan yang kita miliki tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya; ”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati serta amal kalian.” (HR: Muslim)
Nabi ﷺ juga pernah bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Yang namanya kaya (ghina’) bukan dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR: Bukhari dan Muslim).
Hati dan amal shalih. Itulah dua hal terpenting yang akan ditimbang dan apa yang akan menentukan hidup kita di Akhirat. Bukankah banyak kita temui orang kaya, tetapi hatinya tak pernah merasa damai? Sementara banyak orang miskin, tetapi mereka memiliki hati bahagia.
Semoga Allah SWT menjadikan kita di antara orang-orang yang tidak terbelenggu pada harta dunia. Sehingga ketika waktunya tiba, maka kita dapat dengan mudah berpisah darinya dan memberikannya kepada Allah.
Guru Pesantren Tahfizh Darul Hijrah Sidoarjo