JIKA kaki ini berat melangkah untuk berdakwah, jika diri ini takut tidak bisa bertahan hidup karena berjuang di jalan Allah, maka tiliklah peran para wanita yang juga pedagang di pasar Talun, Kecamatan Dukun, Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini.
Mereka tak segan-segan menutup warung-warungnya dan meninggalkannya untuk mengenalkan Islam pada warga di lereng gunung Merapi.
Adalah Nurhayati. Wanita yang dikenal sebagai pedagang sembako dan sepatu di Pasar Talun, Muntilan. Dua puluh tahun berkutat dengan barang dagangan, menyadarkan untuk menyibukkan diri dalam dunia dakwah.
Sebelumnya, ia mengaku telah banyak menghabiskan waktu di pasar dan urusan dunia dan hanya berkutat dengan buka-tutup warung setiap pagi dan petang tanpa ada asupan ruhani. Hidupnya terasa hampa.
“Cuma gitu aja, cari uang. Pergi jam 5 pagi, pulang jam 4 sore. Begitu saja selama 20 tahun,” tutur Nur, panggilan akrab Nurhayati mengenai kegelisahannya 2010 silam.
Ia teringat pada seorang kakak kelasnya saat bersekolah di SMA Muhammadiyah, Muntilan. Pada Herlina, kakak kelasnya, Nur menyampaikan kegelisahannya untuk segera membentuk pengajian. Herlina yang pada saat itu menjadi pimpinan sebuah sekolah Islam, senang hati membantunya.
Nur juga menggandeng adik kelasnya, Anik. Keduanya pernah satu sekolah di MTS Muhammadiyah, Muntilan. “Dik Anik nggak melanjutkan sekolah. Lulus MTS ibunya minta supaya dik Anik dagang saja di pasar. Ngurus warung orangtuanya,”imbuh Nur.
Bagai gayung bersambut, Anik yang telah sukses memiliki beberapa toko di pasar Talun, setuju dengan ide itu. Perempuan itu merasakan kehampaan yang sama. Mereka bergerak cepat membagikan undangan pengajian perdana untuk seratus pedagang muslimah di pasar Talun.
Pengajian hari pertama dihadiri oleh 75 orang pedagang. Nur ternyata tidak sendiri. Kekosongan spiritual juga dirasakan oleh hampir seluruh pedagang. Lokasinya bertempat di rumah Nur di kampung Kutan, Sedayu, Muntilan.
Mulai pertemuan kedua, pengajian langsung ditempatkan di Masjid Al Barokah yang terletak di seberang pasar Talun. Mereka sepakat menggulirkan pengajian setiap Ahad di sana dengan nama Pengajian Al Barokah. Jaringan pendidikan yang dimiliki Herlina, mampu mendatangkan ustadz untuk mengajar di masjid itu. Setiap pekan, anggota pengajian bertambah banyak. Jumlahnya bahkan lebih dari seratus orang.
Erupsi Merapi bulan Oktober 2010, menggerakkan Nurhayati, Anik dan Herlina.
Kala itu ketersediaan sembako, minus. Perekonomian kampung lumpuh total. Pasar ditutup. Ketiganya menghubungi berbagai pihak untuk mendapatkan sembako. Nur bahkan sampai turun ke Yogyakarta demi mencari sembako bagi masyarakat. Bahkan tak segan Ia merogoh kecek pribadinya.
“Saya cari sembako kemana-mana. Begitu dapat, tak kasih Pak Kadus (Kepala Dusun),” cerita Nur saat hidayatullah.com menemui di warungnya yang penuh sesak barang dagangan.
Oleh Kepala Dusun, sembako itu dibagi merata termasuk untuk Nur dan keluarganya.
Selama 40 hari, rumah Nur dijadikan penampungan pengungsi.
Setiap hari Nur bergerak mencari dan menyalurkan bantuan. Telepon genggam miliknya tidak henti-hentinya berdering. Ia berkoordinasi dengan para relawan, pengusaha bahkan dengan para ustadz.
Belum lagi selesai memenuhi kebutuhan sembako kampungnya, ada telepon dari sang adik yang tinggal di Tempon. Dusun yang berada di lereng Merapi itu belum teraliri sembako sama sekali.
Tempon hanya satu diantara puluhan dusun disana yang juga kekurangan air bersih. Kembali Nur mengajak Anik dan Herlina bergerak ke pelosok Merapi yang baru kali itu mereka kunjungi.
Keikhlasan memberi, berbuah baik. Penduduk di lereng Merapi simpatik pada mereka dan akhirnya mau diajak membentuk pengajian.
Karena tidak mau seperti pemberi bantuan kemanusiaan pada umumnya, yang melepas tanggungjawab setelah menyalurkan bantuan, akhirnya momen ini digunakan Nur, Anik dan Herlina untuk mengenalkan masyarakat mengenal Al Qur’an.
Mereka bertekad agar kalam ilahi juga berpendar sampai ke lereng Merapi.
Tentu saja tidak serta merta diajak mengaji. Nur berusaha empati terlebih dahulu.
“Ya, mosok kita datang nggak bawa apa-apa. Misalnya mereka butuh air bersih, kami carikan air bersih,”ulasnya.
Ketiganya berbagi tugas. Jika Herlina punya andil dalam menyediakan para pengajar, maka Nur dan Anik sibuk membawa ribuan makanan ringan yang dibagikan gratis untuk para peserta pengajian. Sembari membawa panganan, mereka turut mensurvei dusun mana saja yang membutuhkan para Dai.*/bersambung Binaannya meluas menjadi 22 Dusun