Banyak jamaah haji kembali dengan semangat antikolonial, membawa cetak biru perlawanan, memulai gerakan pendidikan dan menyasar akar kebodohan umat
Hidayatullah.com | SETIAP tanggal 10 Zulhijjah, gema takbir menggema di penjuru Nusantara. Umat Islam berkumpul di lapangan, menunaikan salat Iedul Adha, lalu menyembelih hewan qurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
Namun, di balik ritual ini tersimpan sejarah panjang dan lapisan makna yang lebih dalam. Jejaknya menembus ruang spiritual, sosial, hingga politik.
Dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail, umat Islam memetik pelajaran tentang ketundukan total kepada Sang Pencipta. Tapi di bumi Indonesia, Iedul Adha dan ibadah haji yang menyertainya juga menjadi jalan menuju kesadaran kolektif dan perubahan zaman.
Sejak abad ke-17 dan memuncak pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, umat Islam dari Hindia Belanda telah menunaikan ibadah haji dalam jumlah yang signifikan.
Perjalanan ke tanah suci kala itu bukan perkara mudah—berbulan-bulan menempuh samudra dengan kapal layar, menghadapi risiko penyakit dan kematian.
Namun, bagi mereka, haji bukan sekadar ritual rukun kelima. Ia adalah perjalanan menimba ilmu, membuka cakrawala pemikiran, dan menyerap energi keislaman dari seluruh dunia. Mekkah dan Madinah menjadi ruang pertemuan antarmazhab, ideologi, dan strategi perjuangan.
Di sana, para haji dari Nusantara belajar langsung dari ulama-ulama besar dan bersentuhan dengan gerakan pembaruan seperti Salafi, Wahabiyah, dan Pan-Islamisme.
Haji menjadi “universitas terbuka” umat Islam global—pusat pendidikan lintas batas yang membentuk generasi pemimpin dan pembaru.
Pemerintah kolonial Belanda menyadari potensi transformatif ini. Mereka mencurigai para haji sebagai agen perubahan yang bisa mengguncang status quo kolonial.
Dalam banyak catatan intelijen, istilah “Haji Radikal” digunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang sekembalinya dari Mekkah justru menjadi lebih kritis, berani, dan aktif dalam perlawanan sosial maupun politik.
Pemerintah Belanda bahkan membentuk badan khusus untuk mengawasi para haji dan memperketat aturan keberangkatan ke tanah suci.
Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan: banyak dari para haji ini kembali dengan semangat antikolonial, membawa cetak biru perlawanan, dan memulai gerakan pendidikan yang menyasar akar kebodohan umat.
Salah satu tokoh yang lahir dari universitas haji ini adalah Syaikh Ahmad Surkati, seorang ulama besar asal Sudan yang belajar di Mekkah dan kemudian menetap di Hindia Belanda.
Di tanah jajahan ini, Surkati menjelma menjadi salah satu penggerak revolusi intelektual umat. Ia menolak struktur sosial berbasis kasta yang saat itu bahkan dipraktikkan di kalangan keturunan Arab sendiri.
Lewat Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang didirikannya pada 1914 di Batavia, ia menyerukan kesetaraan, menentang taqlid, dan mengusung rasionalitas dalam pendidikan Islam. Surkati tidak hanya mengajarkan tafsir dan fikih, tetapi juga membentuk cara berpikir umat: bahwa kemerdekaan tidak bisa dicapai oleh jiwa yang terjajah, dan bahwa Islam harus menjadi kekuatan pembebas, bukan alat pelanggeng ketimpangan.
Surkati berdiri sejajar dengan KH Ahmad Dahlan dan Haji Zamzam dalam arus besar pembaruan Islam di Indonesia. Trio ini dikenal sebagai para mujadid yang mendobrak kebekuan pemikiran, mendirikan institusi pendidikan modern, dan menata kembali pelaksanaan ibadah agar lebih terstruktur dan bermanfaat bagi masyarakat.
Salah satu contohnya adalah reformasi dalam pelaksanaan ibadah qurban. Jika sebelumnya qurban dilakukan secara individual dan sporadis, kini berkembang menjadi gerakan kolektif yang dikelola oleh panitia, dilengkapi laporan keuangan, dan sistem distribusi yang adil.
Inilah buah dari semangat modernisasi Islam yang lahir dari perjumpaan antara pengalaman haji dan visi pembaruan.
Lebih dari itu, Surkati mewariskan gagasan bahwa Islam adalah agama yang membebaskan. Ia menolak fanatisme buta, menentang mitos darah biru, dan menyerukan agar umat bangkit dari keterbelakangan.
Ia mengajarkan bahwa pendidikan adalah jantung perlawanan dan bahwa ritual seperti qurban tidak boleh berhenti di penyembelihan hewan, tetapi harus meluas menjadi penyembelihan egoisme, kemalasan berpikir, dan kepatuhan membuta terhadap tradisi usang.
Dalam pandangan Surkati, ibadah adalah jembatan menuju pembaruan. Ia mengubah masjid dari tempat pasif menjadi pusat dinamika, dan menjadikan Mekkah bukan hanya kiblat salat, tetapi juga kiblat perubahan.
Haji, dalam sejarah Indonesia, telah memainkan peran kunci sebagai wahana transmisi gagasan. Dari tanah suci, para haji membawa pulang semangat kebebasan, keilmuan, dan keberanian.
Pemerintah kolonial yang semula menganggap haji sebagai urusan privat, akhirnya menyadari bahwa haji adalah institusi global yang berbahaya bagi sistem penindasan. Haji membentuk kesadaran baru, dan dari sanalah muncul tokoh-tokoh pembebas seperti Surkati, yang tidak hanya mengubah cara umat beribadah, tapi juga cara mereka berpikir dan bertindak.
Iedul Adha hari ini harus dibaca ulang bukan hanya sebagai momentum spiritual, tetapi juga sebagai panggilan intelektual. Bahwa dari Ibrahim kita belajar ketundukan, dari haji kita belajar transformasi, dan dari Surkati kita belajar keberanian berpikir merdeka.
Universitas haji telah melahirkan ulama-ulama besar Nusantara, dan dalam jejak mereka kita menemukan bahwa ibadah bisa menjadi jalan menuju revolusi — bukan dengan kekerasan, tapi dengan ilmu, pendidikan, dan pembebasan.*/ Abdullah Abubakar Batarfie, Ketua Pusat Dokumentasi & Kajian (PUSDOK) Al-Irsyad