Oleh: Musthafa Luthfi
Harga diri
Shaa al-qodr, dua zaman juga sempat penulis rasakan menjelang akan kembali ke tanah air dalam dua atau tiga bulan mendatang setelah cukup lama “melanglangbuana” di sejumlah negeri Arab. Menjelang kepulangan ke tanah air untuk mengabdi di dalam negeri, terjadi perubahan mendadak yang tidak dipediksi sama sekali sebelumnya.
Meletusnya revolusi Arab yang dikenal pula dengan al-Rabei al-Arabi (musim semi Arab) atau Arab Spring, telah memasuki tahun ketiga masa transisi sejak meletus pada 17 Desember 2010 di Tunisia, salah satu negari kecil Arab di pantai Samudera Atlantis. Tidak ada yang menyangka aksi bakar diri yang dilakukan pemuda Mohammed Bouazizi di kota Sidi Bouazid menginspirasi revolusi musim semi di negeri berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu yang selanjutnya meluas ke sejumlah negara Arab.
Bagi pemuda umur 26 tahun itu, aksi bakar diri itu dianggap lebih baik ketimbang harus menganggur dan tidak mampu menopang kehidupan keluarga besarnya yang sangat tergantung padanya sebagai pedagang buah dan sayur untuk menopang hidup delapan anggota keluarganya dengan penghasilan kurang dari US$150 sebulan. Karena bermula dari kesulitan ekonomi itulah maka banyak pihak yang memandang bahwa gelombang tuntutan perubahan di sejumlah negara Arab baik yang telah sukses melengserkan penguasa maupun yang masih berjuang dinilai disebabkan faktor ekonomi.
Memang tidak dipungkiri, faktor ekonomi berperan dalam perubahan di sejumlah negara Arab, tapi bukan faktor satu-satunya karena ada faktor lain yang tidak kalah penting bahkan terpenting yakni karaamah (harga diri) bangsa Arab sehingga membangkitkan kembali jiwa qaumiyah (kebangsaan) yang menuntut kedaulatan dan kebebasan dari pengaruh-pengaruh asing. Bangsa Arab saat ini bangkit menuntut kebebasan dari berbagai bentuk pengaruh asing (baca: barat) yang telah menginjak-injak martabat mereka sehingga terpasung kedaulatan mereka.
Salah satu konsekwensi dari orde perubahan itu adalah berputarnya roda kehidupan, yang tadinya penguasa yang semena-mena memenjarakan lawan politik, nasibnya berbalik menjadi pesakitan. Contoh nyata adalah kemenangan Presiden baru Mesir, Dr. Mohammed Mursy yang pada masa rezim mantan Presiden Husni Mubarak bertahun-tahun pernah menginap di penjara. Mursy yang dulu sering di penjara, sekarang masuk ke istana dan Mubarak yang dulu berkuasa akhirnya masuk penjara.
Dalam suasana orde perubahan meskipun sempat terjadi letupan-letupan beberapa bulan belakangan ini akibat krisis referendum, namun bagi siapa saja yang mengamati orientasi negeri Piramida tersebut akan menemukan pada pandangan pertama bahwa orientasi itu difokuskan pada upaya pemulihan stabilitas baik keamanan maupun ekonomi dan mengembalikan perannya di tingkat regional dan internasional yang sempat dikerdilkan pada masa rejim Mubarak.
Walaupun Suriah masih berdarah-darah, namun tahun 2012 merupakan tahunnya Mesir karena pada tahun tersebut berlangsung banyak perkembangan penting mulai dari dekrit konstitusi yang dilakukan Junta MIliter, pembubaran parlemen yang mengundang reaksi massa hingga Pilpres yang dimenangkan kubu Islamis dengan calon, Dr. Mohammad Mursy.
Pasca Pilpres, Presiden Mursy kembali mengeluarkan dekrit kontroversial yang sempat mengundang reaksi massa dari kubu Liberal, namun semua itu dapat diatasi secara damai dan membuat lega hampir seluruh rakyat negeri itu khususnya dan publik Arab pada umumnya. Pasalnya publik menaruh harapan besar, Mesir sebagai tolok ukur keberhasilan Arab Spring diharapkan sukses menjalankan masa transisi dengan damai sehingga kembali fokus pada pembangunan.
Negara-negara Arab Spring lainnya yang juga sedang berusaha menyukseskan masa transisi adalah Libya, Tunisia dan Yaman. Orde perubahan tersebut bukan hanya sekedar mengembalikan harga diri bangsa Arab, namun juga menciptakan masa depan yang lebih baik materiil dan spiritual agar dapat menjadi fondasi kokoh bagi kebangkitan bangsa-bangsa Muslim seluruh dunia.
Meskipun sebagian negara Arab lainnya, tidak secara langsung mengalami Arab Spring, namun dapat dipastikan bahwa orde perubahan ini juga akan berpengaruh positif bagi rakyat negara-negara tersebut. Pasalnya, penguasa tidak bisa lagi semena-mena menentukan kebijakan tanpa merujuk kepada aspirasi rakyat.
Suriah, satu-satunya negara Arab Spring yang mengorbankan lebih dari 60 ribu jiwa warganya akibat penolakan tuntutan perubahan oleh rezim berkuasa. Meskipun demikian, rakyat negeri itu, nampaknya tidak akan bergeming dari tuntutan perubahan karena perubahan adalah salah satu sunnatullah yang tidak mungkin ditolak oleh manusia manapun dengan kekuasaan sehebat apapun.
Alhasil bagi penulis sendiri, sebagaimana melepas pondok 27 tahun lalu dengan rasa haru dalam suasana masa transisi kepemimpinan di pondok yang telah berjasa mendidik dan membekali para santri agar menjadi manusia berguna, dalam beberapa bulan ke depan juga akan segera meninggalkan hiruk pikuk masa transisi di dunia Arab kembali ke tanah air. Suasananya kali ini bercampur baur sebab di satu sisi merasa lega sebagian besar Arab Spring telah sukses mengatasi krisis dengan damai, di sisi lain saudara-saudara di Suriah masih menghadapi pembantian dari rezim yang bersikeras menolak sunnatut thagyir.*/Sana`a, 5 R. Awal 1434 H
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman