MUSHOLLAH berlantai dua itu berdiri megah. Seluruh dindingnya dilapisi keramik berwarna biru, hanya bagian terasnya yang putih. Luasnya sekitar setengah lapangan futsal, mungkin cukup menampung seratus jamaah. Agar tidak berbaur, jamaah dipisah; laki-laki di lantai satu sedangkan perempuan di lantai dua.
Mushollah Nurul Iman, demikian terlihat jelas di bagian depan. Tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia, tapi juga dalam bahasa Arab. Bentuknya artistik dan cukup besar dengan warna kuning keemasan. Dari jauh, kaligrafi itu terlihat mengkilau diterpa cahaya lampu .
Bagi warga Bangunsari, Surabaya, mushola ini sudah tak asing lagi. Pasalnya, tempat ibadah ini memiliki sejarah penting terkait tobatnya seorang pembesar mucikari di wilayah ini.
Karena itu, tak heran jika bertanya letak mushola ini, hampir seluruh warga di Dupak Bangunsari, pasti mengetahuinya.
“Di ujung gang sana mas. Lurus, belok kiri, di situ tempatnya,” kata tukang becak ketika ditanya mushola ini yang setiap hari mangkal di depan gang.
Tobatnya Sang Mucikari
Seperti dikatakan Sunorto, warga asli Dupak Bangunsari, sebelum jadi mushola, tempat ini dulunya adalah rumah bordil. Bahkan, katanya, mucikari pemilik bordil ini termasuk salah satu mucikari yang berpengaruh di Bangunsari. Tapi kemudian ia tobat.
“Alhamdulillah, setelah kita dakwahi, mucikari tersebut akhirnya tobat,” katanya.
Sekitar tahun 2003, mucikari yang bernama S Maryam ini lantas menutup bordil yang terletak di jalan Rembang, Bangunsari itu. Tidak hanya itu, Maryam pun mengubahnya jadi mushola. Sekitar 80 persen pembiayaannya pun ditanggung Maryam.
Tobatnya Maryam membuat kaget banyak orang kaget, terlebih para mucikari dan pelacur. Tapi, setidaknya, hal itu justru jadi kabar baik bagi Sunarto dan sejumlah pejabat di Surabaya. Pasalnya, Maryam bisa menginspirasi banyak mucikari lainnya. Bahkan tak sedikit pejabat yang ikut meremikan mushola ini.
Kata Sunarto, tak lama setelah itu, Maryam pun menunaikan ibadah haji. Pulang dari tanah suci itu, rupanya Allah memanggilnya.
“Karena itu, mendengar nama mushola ini, warga Bangunsari akan ingat sejarahnya,” kata pria murah senyum ini kepada hidayatullah.com di sela-sela rapat di mushola ini beberapa waktu lalu.
***
Tahun 1970, lokalisasi Bangunsari adalah tempat esek-esek terbesar di Surabaya, bahkan melompati lokalisasi tersohor Dolly dan Jarak. Jumlah pelacur dan mucikari-nya ada sekitar 3 ribu lebih.
“Mirip di film-film. Waktu itu banyak bule yang datang. Tampilanya seronok. Mau apa lagi jika bukan jajan,” kata Sunarto yang telah tinggal di tempat ini sejak kecil.
Kata Sunarto, di Bangunsari Kelurahan Dupak ada 15 RT. Dulu hampir di semua RT itu warganya menyediakan jasa esek-esek . Namun, lambat-laun, karena intensitas dakwah kian tinggi, jumlahnya jadi terus merosot. Kini setidaknya hanya tinggal sekitar 200 lebih PSK.
Dari 15 RT tersebut, katanya, tinggal dua gang saja yang masih beroperasi. Bahlan pada suatu malam, ketika hidayatullah.com, datang ke tempat itu, suasana prostitusi di dua gang tersebut masih hidup. Alunan musik dangdut jelas terdengar dari balik sejumlah bordil. Lampu diskotik pun kelap-kelip menerangi bordil yang membuat malam seakan semakin panjang. Tak lupa sejumlah calo berdiri menawari setiap orang yang lewat.
Namun pemandangan itu jauh berbeda di 13 gang lainnya. Aktivitas masyarakat di gang tersebut berjalan seperti normal seperti masyarakat pada umumnya. Tak ada lampu diskotik, tak ada alunan musik yang memekakkan telinga. JUga tak ada calo yang mencari mangsa.
Ketika itu, usai isya’, bahkan tampak sejumlah anak kecil pulang dari mengaji di masjid. Begitu pula bapak-bapak dengan memakai sarung dan songkok baru keluar dari masjid usai menjalankan shalat isya berjamaah.
Kiprah Forkemas
Menurut Sunaryo, proses dakwah di lokalisasi pelacuran di Bangunsari tidak terjadi begitu saja. Setidaknya melalui proses panjang dan memakan waktu yang tak sebentar. Salah satu yang ikut berperan adalah Forum Komunikasi Elemen Surabaya (Forkemas). Forum ini kebetulan diketuai Sunarto sendidi yang kini juga menjabat sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan IAIN Sunan Ampel Surabaya .
Didirikan tahun 2002, Forkemas memiliki anggota yang terdiri dari perwakilan sejumlah ormas Islam, NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya.
Berdirinya forum ini, kata Sunarto berasal dari keperihatinan terhadap fenomena pelacuran yang ada di Surabaya. bagi Forkemas, pelacuran dinilainya sebagai salah satu entitas di masyarakat yang tidak bisa dipandang sebelah mata, perlu diperhatikan dan dikembalikan ke jalan yang benar.
Namun, masalahnya, ujar Sunarto, masyarakat sudah lebih dulu apriori dan tidak peduli dengan pelacur. Pelacur dipandang sampah dan hal yang menjijikan. Tak pelak, kesan itu menjadi jurang pemisah. Hingga akhirnya pelacuran jarang disentuh dakwah. Padahal, kata Sunarto, pelacur juga wajib didakwahi.
“Lahan dakwah inilah yang ingin kita ambil,” katanya.
Akhirnya, dengan seluruh anggotanya, Forkemas melakukan pembinaan ke seluruh pelacur dan mucikari. Caranya, setiap sepekan sekali para pelacur dikumpulkan di balai RW dan diberikan nasihat agama. Tema yang diberikan bukan soal haram dan haram zina. Tapi, lebih kepada kenapa Islam mengharamkan zina dan apa efeknya. Disampaikan tanpa menggurui, tapi penuh perhatian dan kasih sayang.
Dalam pembinaan itu, Forkemas selalu mengadakan dialog. Para pelacur disuruh menyampaikan unek-unek dan masalah yang dihadapi. Dari situ, banyak para pelacur yang mau berterus terang. Apapun yang mereka rasakan dan inginkan disampaikan. Termasuk keiinginan mereka keluar dari dunia hitam tersebut.
Tapi, kata Sunarto, biasanya yang ingin keluar butuh skill dan modal. Dengan bekerja sama dengan Dinas Sosial Surabaya, Forkemas pun memberikan pelatihan keterampilan dan pemberian dana bagi yang ingin alih profesi.
Tanpa diduga, langkah itu pun berhasil. Lambat laun banyak pelacur yang tobat dan alih profesi. Begitu juga dengan para mucikari, satu persatu mulai menutup bordilnya. Beberapa bulan lalu, kata Sunarto, ada dua mucikari yang alih profesi dan diberikan dana.
Salah satu mucikari yang menutup bordilnya adalah Latifah, warga Bangunsari yang tinggal di gang tiga. Latifah resmi menutup bordilnya tahun 2009 silam. Alasan Latifah melakukan hal itu karena sepi; jika tetap buka, maka akan rugi.
Latifah sendiri jadi mucikari sejak tahun 1973 dengan memiliki sekitar sepuluh pelacur. Dari situ Latifah mampu meraup untung cukup banyak. Tahun 1976, Latifah bisa mendapat Rp 200 ribu perhari. Dari hasil itu, Latifah juga bisa membeli rumah. Tapi, karena tak untung lagi, Latifah pun menutup bordilnya dan menggantungkan hidupnya pada kos sewaan miliknya. */hidayatullah.com