PARA fuqaha menetapkan tiga syarat untuk wajibnya puasa, sebagai berikut:
1. Islam.
Ini terhitung sebagai syarat kewajiban menurut madzhab Hanafi, tapi terhitung sebagai syarat sah menurut jumhur. Jadi, puasa tidak wajib atas orang kafir, dan dia tidak dituntut mengqadhanya, menurut kelompok pertama. Sedang menurut kelompok kedua, puasa tidak sah sama sekali dari orang kafir meskipun dia murtad, dan dia pun tidak wajib mengqadhanya.
Jika seorang kafir masuk Islam pada bulan Ramadhan, dia harus berpuasa pada hari-hari berikutnya, dan tidak harus mengqadha puasa pada hari-hari sebelumnya. Hal ini disepakati semua ulama, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu…“‘ (al-Anfaal: 38)
Jika seorang kafir masuk Islam pada siang hari, dia harus –menurut madzhab Hambali– menghindari segala pembatal puasa pada sisa hari tersebut, dan dia pun mesti mengqadha puasa hari itu. Sebab, dia telah mendapatkan sebagian dari waktu ibadah, maka ibadah tersebut menjadi tanggungannya, sama seperti jika dia mendapatkan sebagian dari waktu shalat.
Sedangkan menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, disunnahkan baginya menghindari makan, demi menghormati kemuliaan waktu dengan cara bertindak seperti tindakan orang-orang yang sedang berpuasa. Di samping itu, dia pun disunnahkan mengqadha (menurut madzhab Maliki), tapi tidak harus (menurut madzhab Hanafi).
Menurut yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i, dia tidak harus mengqadha, sebab dia tidak mendapatkan waktu yang mencukupi untuk melaksanakan ibadah. Menurut yang paling shahih, dia juga tidak harus menghindari hal-hal pembatal puasa pada sisa hari tersebut, sebab dia tidak berpuasa pada hari itu karena uzur. Maka, statusnya seperti musafir dan orang sakit.
Namun, jika seorang murtad masuk Islam, dia wajib –menurut madzhab Syafi’i dan Hambali– mengqadha ibadah yang ditinggalkannya selama dia kafir. Sebab, dia telah berkewajiban menunaikannya ketika dia masih memeluk Islam, dan kewajiban ini tidak gugur hanya gara-gara dia murtad, sama seperti hak-hak manusiawi.*/Dikutip dari buku Fiqih Islam karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili.